Iklan

Menumbuhkan Generasi Rabbani di Tengah Era Digital

28 Oktober 2025, 06:56 WIB


Suluah.id - Di tengah derasnya arus informasi, tren gaya hidup cepat saji, dan budaya viral yang sering mengaburkan nilai, banyak keluarga Muslim hari ini merasa kehilangan sesuatu yang lebih dalam: ketenangan batin dan arah spiritual bagi anak-anak mereka.

Pertanyaan sederhana pun muncul di ruang-ruang keluarga: bagaimana caranya membentuk anak-anak yang bukan hanya cerdas, tapi juga berakhlak dan berjiwa Qur’ani?

Jawabannya ternyata sudah lama ditulis dalam kitab suci — konsep yang disebut Generasi Rabbani.

Istilah ini muncul dalam Surah Ali Imran ayat 79–80, ketika Allah memerintahkan manusia agar menjadi rabbaniyyin — yakni orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada Tuhan, dengan semangat mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an.

Rabbani: Bukan Sekadar Hafal, Tapi Hidup Bersama Al-Qur’an


Kata rabbani berasal dari akar kata Rabb — Sang Pemelihara. Dalam bahasa Arab, bentuk ini bermakna seseorang yang terus-menerus berhubungan dengan Tuhannya; hidupnya terdidik oleh nilai-nilai ilahi.

Menurut tafsir Ibnu Abbas, seorang rabbani adalah “orang berilmu yang bijaksana”. Sementara Imam Al-Hasan Al-Bashri menyebutnya “ahli ibadah dan takwa”.

Artinya, rabbani bukan sekadar gelar bagi ulama atau penghafal Al-Qur’an, tapi cerminan pribadi yang mampu menyeimbangkan antara ilmu, amal, dan akhlak.

Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa menjadi rabbani berarti “menjadikan nilai-nilai Ilahi sebagai fondasi berpikir, bersikap, dan bertindak.” 

Dengan kata lain, generasi rabbani tidak hanya beriman di lisan, tapi juga rasional dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Dua Pilar Pembentuk Generasi Rabbani


Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan dua fondasi utama pembentuk generasi rabbani:

Tu’allimunal Kitab — Mengajarkan Al-Qur’an

Bukan hanya sekadar mengajar membaca huruf demi huruf, tapi juga menyebarkan nilai-nilainya dalam kehidupan.

Rasulullah ﷺ bersabda,
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Di zaman digital, mengajarkan Al-Qur’an bisa berarti membagikan pesan-pesan kebaikan di media sosial, mendukung gerakan literasi Qur’ani, atau menghidupkan kembali budaya tadarus keluarga di rumah.

Tadrusun — Mempelajari Al-Qur’an Secara Berkelanjutan

Belajar Al-Qur’an bukan proyek semalam. Ia butuh kesabaran, pembiasaan, dan cinta.

“Idealnya, interaksi dengan Al-Qur’an mencakup tiga hal,” jelas Prof. M. Quraish Shihab, “tilawah (membaca dengan benar), hifzh (menghafal), dan fahm (memahami makna).”

Ketika ketiganya seimbang, lahirlah pribadi yang bukan hanya hafal ayat, tapi juga mampu menerapkannya dalam realitas.

Pelajaran dari Sejarah: Dialog Najran dan Spirit Ketauhidan


Ayat-ayat dalam Surah Ali Imran itu sejatinya turun dalam konteks perdebatan Rasulullah ﷺ dengan utusan Nasrani dari Najran — sebuah momen penting yang menegaskan bahwa kenabian bukanlah tentang disembah, melainkan membimbing manusia menuju Tuhan.

Pesan ini tetap relevan hingga kini: jangan sampai manusia memuja simbol, guru, atau figur, tetapi lupa pada sumber nilai yang sejati — Allah.

Konteks Modern: Membangun Rumah yang Qur’ani


Kemenag RI dalam laporan “Indeks Literasi Al-Qur’an 2023” mencatat, hanya sekitar 29% keluarga Muslim di Indonesia yang secara rutin membaca atau mengajarkan Al-Qur’an di rumah.

Artinya, masih banyak ruang untuk memperkuat “ekosistem rabbani” dalam keluarga.

Beberapa langkah praktis bisa dimulai dari hal kecil:

Membiasakan tilawah bersama meski hanya lima ayat setiap hari.

Mendengarkan tafsir ringan melalui podcast atau kanal YouTube tepercaya seperti Ngaji Bareng Ustadz Abdul Somad atau Kajian Tadabbur Al-Mishbah.

Mengajarkan nilai Qur’ani lewat aktivitas sehari-hari: kejujuran saat berdagang, empati pada tetangga, atau kesabaran di jalan.

Psikolog keluarga dari UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Aisyah Muchtar, menekankan bahwa anak yang tumbuh dalam lingkungan spiritual yang seimbang cenderung lebih tangguh secara emosional dan lebih rendah risiko stres digital.

“Generasi rabbani itu bukan anti-teknologi,” ujarnya, “tetapi mampu mengendalikan teknologi dengan nilai-nilai Qur’ani.”

Teladan dari Generasi Salaf


Para sahabat Rasul menunjukkan seperti apa praktik nyata menjadi rabbani.
Abdullah bin Mas’ud berkata,
“Kami belajar sepuluh ayat Al-Qur’an, tidak berpindah sebelum kami memahami dan mengamalkannya.”

Sementara Imam Malik bin Anas mengingatkan,
“Ilmu bukanlah banyaknya hafalan, melainkan cahaya yang Allah letakkan di hati.”

Dari merekalah lahir peradaban Islam yang berakar pada ilmu dan akhlak — dua elemen yang kini dirindukan dunia modern.

Menuju Generasi Rabbani 5.0


Di era kecerdasan buatan, menjadi rabbani justru semakin mendesak.
Generasi ini bukan anti-kemajuan, tapi mampu menyelaraskan sains dan spiritualitas.

Mereka menjadikan Al-Qur’an bukan sekadar bacaan malam Ramadan, tapi kompas moral dalam menavigasi kehidupan digital yang kompleks.
Membangun generasi rabbani adalah proyek peradaban, bukan pekerjaan sehari.

Dimulai dari rumah, tumbuh di sekolah, dan hidup di masyarakat.

Karena, seperti doa Nabi Ibrahim dalam Al-Baqarah ayat 127:
Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amal kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(*) 
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Menumbuhkan Generasi Rabbani di Tengah Era Digital

Iklan