Suluah.id - Pernah nggak sih, kita bertemu seseorang yang hidupnya tampak tenang-tenang saja? Diuji kehilangan, tetap sabar. Dapat rezeki sedikit, tetap bersyukur. Seolah tak pernah gelisah meski hidupnya tak selalu mudah.
Rahasianya bukan di saldo rekening atau jabatan tinggi — tapi di satu hal yang sering kita abaikan: ilmu.
Bukan sekadar tahu banyak hal, tapi paham — paham bagaimana Allah mendidik kita lewat setiap peristiwa hidup.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka Dia pahamkan dia tentang agama, dan diilhamkan kepadanya jalan petunjuk.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini sederhana tapi dalam. Bahwa ukuran kebaikan seseorang bukan seberapa banyak hartanya, tapi seberapa dalam pemahamannya terhadap hidup. Allah membuka mata hatinya untuk melihat makna di balik ujian dan anugerah.
Ketika Ilmu Bukan Sekadar Pengetahuan
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu sejati itu bukan hanya menambah wawasan, tapi juga menumbuhkan keimanan dan kebijaksanaan.
Orang berilmu bukan cuma tahu arah jalan, tapi tahu cara melangkah dengan tenang.
Kisah para sahabat Nabi adalah cerminnya.
Lihat bagaimana Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, seorang pemuda yang haus ilmu, duduk di majelis para sahabat senior.
Ketika Umar bin Khattab mengujinya dengan tafsir Surah An-Nashr, Ibnu Abbas menjawab bahwa ayat itu menandakan mendekatnya akhir tugas Rasulullah ﷺ — bukan sekadar kemenangan. Umar tersenyum kagum: pemahaman itu lahir dari kedalaman hati, bukan hanya hafalan.
Atau Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Ia bukan orang paling kaya, tapi paling “lapar” terhadap ilmu. Ia hafal, ia ulang, ia amalkan — sampai Rasulullah ﷺ sendiri mendoakannya agar hafalannya diberkahi.
Ketekunan seperti inilah yang menjadikan ilmu bukan sekadar catatan di kepala, tapi cahaya di hati.
Cahaya yang Tidak Singgah di Hati yang Gelap
Imam Syafi’i pernah berpesan:
“Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada hati yang bermaksiat.”
Kata “cahaya” di sini bukan metafora kosong. Dalam pandangan ulama, ilmu itu memang menerangi jalan seseorang dari kebingungan menuju keyakinan. Tapi cahaya itu tidak akan menempel di hati yang keras, sombong, atau merasa paling tahu.
Imam Hasan Al-Bashri juga pernah mengingatkan:
“Ilmu tidak akan datang kepada orang yang merasa sudah cukup.”
Sebab belajar adalah perjalanan yang tidak pernah selesai. Semakin seseorang berilmu, semakin ia merasa kecil di hadapan kebesaran Allah.
Ilmu yang Membuat Hidup Lebih Hidup
Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, banyak orang berlari mengejar rezeki, jabatan, atau validasi sosial. Tapi sedikit yang menyadari: ilmu agama adalah fondasi dari ketenangan hidup.
Ia menuntun kita agar rezeki yang sedikit terasa cukup, posisi yang tinggi tak membuat sombong, dan ujian berat terasa lebih ringan.
Ilmu membuat seseorang tahu kapan harus diam, kapan harus bersyukur, dan kapan harus sabar.
Karena dalam setiap hal, ada pesan lembut dari Allah yang sedang mendidik hati.
Tanda Allah Sedang Menyayangi
Maka, kalau hari ini kamu masih punya semangat belajar, masih penasaran ingin memahami makna ayat, masih tertarik mendengar nasihat — jangan anggap remeh.
Itu tanda bahwa Allah sedang menyiapkan kebaikan besar untukmu.
Ilmu itu seperti pelita di malam gelap. Tanpanya, kita mudah tersesat. Tapi dengan ilmu, langkah terasa lebih ringan karena kita tahu arah pulang.
Jaga semangat itu. Rawat dengan rendah hati, dengan amal, dengan doa.
Karena siapa tahu, lewat perjalanan mencari ilmu, Allah sedang menenangkan hidup kita — tanpa kita sadari.(*)
 
 




 
 
 
