Iklan

Di Tengah Banjir Hoaks, Mari Belajar “Tabayyun Digital”

24 Oktober 2025, 07:00 WIB


Suluah.id - Di zaman ketika jari lebih cepat dari pikiran, satu klik bisa mengubah segalanya. Hanya butuh beberapa detik untuk menekan tombol share, tapi dampaknya bisa menahun: perpecahan, kebencian, bahkan penyesalan.

Ya, inilah wajah media sosial hari ini—tempat di mana kebaikan dan keburukan berpacu di layar yang sama.

Menurut laporan We Are Social 2025, rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari di media sosial. Namun di balik kemudahan dan keseruannya, dunia maya juga menjadi ladang subur bagi hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian.

Komdigi mencatat, sepanjang 2024 saja, lebih dari 15 ribu konten hoaks berhasil diidentifikasi dan ditindak. Angka yang mencengangkan, dan itu baru yang terdeteksi.

Ketika Jempol Lebih Tajam dari Pedang


Di tengah derasnya arus informasi, media sosial ibarat pisau bermata dua. Ia bisa menjadi alat dakwah, pendidikan, dan silaturahim. Tapi dalam sekejap juga bisa berubah jadi sumber fitnah dan perpecahan.
Islam sebenarnya sudah memberi panduan jauh sebelum internet lahir. 

Dalam QS. At-Tahrim ayat 6, Allah menyeru,
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”
Pesan ini tidak hanya soal menjaga ibadah, tapi juga menjaga ruang digital keluarga agar tak tercemar hal-hal yang merusak iman dan akhlak.

“Fitnah zaman sekarang tak lagi datang dari mulut, tapi dari layar,” kata Ustazah Dewi Inayati, pemerhati dakwah digital. “Orang tua perlu sadar, yang kita lawan bukan cuma konten negatif, tapi juga algoritma yang diam-diam membentuk cara berpikir anak-anak kita.”

Jangan Ikuti yang Kamu Tak Pahami


Al-Qur’an juga menegaskan,
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya...” (QS. Al-Isra’: 36)

Ayat ini, jika diterjemahkan dalam konteks media sosial, menjadi pedoman etika digital: jangan share kalau belum tahu kebenarannya.

Berapa kali kita tergoda menyebarkan pesan “katanya” tanpa tabayyun? Padahal Allah mengingatkan bahwa setiap pendengaran, penglihatan, dan isi hati akan dimintai pertanggungjawaban.

Tabayyun—atau verifikasi sebelum percaya—adalah nilai luhur yang kini semakin langka di dunia digital.

Menurut Dr. Dwi Rahmawati, pakar literasi digital Universitas Indonesia, perilaku asal share sering muncul karena kombinasi dua hal: rasa ingin tampil “update” dan dorongan emosional. “Media sosial membuat kita haus validasi. Tapi kalau tidak hati-hati, justru kita bisa jadi agen penyebar hoaks tanpa sadar,” ujarnya.

Kata Rasulullah: Berkatalah Baik, atau Diam


Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)

Di era digital, “berkata” tidak lagi sebatas ucapan. Ia meliputi caption, komentar, tweet, story, dan unggahan video.

Iman kita diuji di setiap kali mengetik. Apakah yang kita tulis menebar kebaikan, atau justru menambah kebisingan?

Rasulullah juga bersabda,
“Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, ia akan mendapat pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)

Itulah peluang besar di dunia maya: satu postingan baik bisa jadi ladang amal yang terus mengalir pahalanya.

5 Langkah Tabayyun Digital di Rumah


Untuk menjaga keluarga agar tak terjerumus dalam “fitnah media sosial”, ada beberapa langkah sederhana namun efektif:

Bangun “imunitas iman” di rumah.
Rumah yang penuh dzikir dan ilmu akan punya daya tahan kuat terhadap racun digital.

Ajarkan literasi digital.
Ajak anak-anak paham perbedaan fakta dan opini, serta risiko hukum dan moral dari ujaran kebencian.

Biasakan dialog terbuka.
Jadilah orang tua yang bisa mendengar, bukan hanya mengontrol. Dengarkan cerita anak tentang apa yang mereka lihat di internet.

Isi ruang digital dengan kebaikan.
Gunakan media sosial untuk berbagi ilmu, inspirasi, dan hal bermanfaat.

Atur waktu dan ruang.
Terapkan digital break time di rumah. Kurangi doomscrolling dan biasakan aktivitas nyata yang menumbuhkan empati.

Media Sosial: Ladang Amal, Bukan Arena Amarah


Pada akhirnya, media sosial bukan musuh. Ia hanyalah alat — dan alat selalu bergantung pada siapa yang menggunakannya.

Dengan kesadaran iman dan etika digital, dunia maya bisa jadi ladang kebaikan yang luas.

Karena di era ini, menjaga jari agar tak salah klik adalah bagian dari menjaga hati.

“Kita tak bisa menghentikan arus informasi,” tulis Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, “tapi kita bisa menjaga hati agar tak hanyut di dalamnya.”

Dan mungkin, inilah makna sejati dari tabayyun digital: menahan jari, menenangkan hati, dan memilih kebaikan di tengah kebisingan dunia maya.
(*)
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Di Tengah Banjir Hoaks, Mari Belajar “Tabayyun Digital”

Iklan