suluah.id - Siapa yang tidak pernah merasa menyesal karena membuang waktu sia-sia?
Scroll media sosial sampai larut malam, binge-watching drama tanpa sadar, lalu terbangun esok hari dengan rasa malas dan pekerjaan menumpuk. Rasanya familiar, bukan?
Ternyata jauh sebelum era internet, seorang ulama besar, Ibnul Qayyim rahimahullah, sudah mengingatkan bahaya ini.
Ia berkata dengan kalimat yang menusuk hati:
“Membuang-buang waktu itu lebih berbahaya daripada kematian. Sebab, membuang waktu memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat. Adapun kematian hanya memutuskanmu dari dunia beserta penghuninya.” (Al-Fawāid, hlm. 458)
“Membuang-buang waktu itu lebih berbahaya daripada kematian. Sebab, membuang waktu memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat. Adapun kematian hanya memutuskanmu dari dunia beserta penghuninya.” (Al-Fawāid, hlm. 458)
Pesan ini terasa sangat relevan di zaman serba cepat seperti sekarang. Waktu bukan sekadar angka di kalender, tetapi nafas kehidupan yang tidak pernah bisa diulang.
Kita mungkin bisa mencari uang yang hilang, bahkan memperbaiki reputasi yang jatuh. Namun waktu yang terbuang? Itu tidak pernah kembali.
Waktu dan Manusia: Al-Qur’an Sudah Mengingatkan
Al-Qur’an bahkan mengabadikan pentingnya waktu dalam surah pendek yang sering kita baca: Al-‘Ashr.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Ini seolah peringatan langsung: waktu adalah cermin, apakah kita sedang untung atau rugi?
Rasulullah ﷺ pun memberi “wake-up call” dengan sabdanya:
“Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu karenanya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Kesehatan dan waktu luang – dua hal yang sering baru kita hargai ketika sudah hilang.
Inspirasi dari Para Tokoh Terdahulu
Para sahabat Nabi dan ulama salaf memiliki cara pandang yang unik terhadap waktu.
Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
“Aku tidak pernah menyesali sesuatu sebagaimana aku menyesali hari yang mataharinya tenggelam, umurku berkurang, sementara amalanku tidak bertambah.”
“Aku tidak pernah menyesali sesuatu sebagaimana aku menyesali hari yang mataharinya tenggelam, umurku berkurang, sementara amalanku tidak bertambah.”
Sementara Hasan al-Bashri rahimahullah berpesan:
“Wahai anak Adam, engkau hanyalah kumpulan hari. Jika satu hari pergi, maka pergi pula sebagian dirimu.”
Bagi mereka, setiap hari adalah kesempatan emas. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahkan menyempatkan diri berkeliling malam demi memastikan rakyatnya aman.
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tetap membantu seorang janda renta, bahkan setelah menjadi khalifah. Bagi mereka, waktu bukan sekadar rutinitas, tapi amanah.
Realitas Kita Hari Ini
Sayangnya, kita sering terjebak di pola yang sama: habis shalat, langsung cek ponsel tanpa tujuan; silaturahmi tergeser chat grup; tadarus kalah oleh drama viral. Kita hidup di zaman attention economy di mana perhatian kita menjadi komoditas yang diperebutkan.
Laporan dari Datareportal (2024) menyebutkan, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 7 menit per hari di media sosial. Itu berarti lebih dari 45 hari per tahun hanya untuk scrolling!
Menata Waktu, Menata Hidup
Solusinya bukan sekadar menjauhi gadget, tapi belajar menata prioritas. Para pakar manajemen waktu menyarankan metode sederhana seperti time-blocking atau Pomodoro Technique – bekerja fokus 25 menit, lalu istirahat 5 menit.
Bahkan psikolog menyebut kebiasaan konsisten kecil lebih efektif daripada tekad besar yang cepat padam.
Sebagai penutup, mari renungkan doa singkat ini:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي أَعْمَارِنَا، وَوَفِّقْنَا لِحُسْنِ اسْتِغْلَالِ أَوْقَاتِنَا
Ya Allah, berkahilah umur kami, tuntunlah kami memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Karena kehilangan sedetik saja berarti kehilangan peluang untuk lebih dekat dengan-Nya — dan mungkin, kehilangan momen berharga yang tak akan terulang.(*)