Suluah.id - Bayangkan lahir sebagai bayi pertama di sebuah komunitas yang baru saja hijrah, tumbuh menjadi pemimpin yang dihormati, lalu memilih mati terhormat daripada hidup dalam tunduk pada tirani.
Itulah kisah Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu (RA), sosok yang hidupnya seolah menjawab doa-doa umat pada masanya.
Namanya mungkin tak setenar beberapa sahabat Nabi lainnya, tapi jejaknya dalam sejarah Islam tak pernah pudar.
Dari tangisan pertamanya di Madinah tahun 2 H hingga darahnya yang tumpah di pelataran Ka’bah, hidup Abdullah bin Zubair adalah pelajaran tentang keteguhan, iman, dan harga diri.
Bayi Harapan Umat
Abdullah bin Zubair lahir dari dua keluarga istimewa. Ayahnya, Zubair bin Awwam, adalah sahabat yang dijanjikan surga, sedangkan ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, dikenal sebagai pejuang tangguh dengan julukan Dzâtun Nithaqain (perempuan yang membelah ikat pinggangnya untuk membantu Nabi SAW saat hijrah).
Kelahiran Abdullah kala itu bukan sekadar momen keluarga, tapi peristiwa yang menggembirakan seluruh kaum Muslimin.
Bahkan, menurut Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lam an-Nubala, Nabi Muhammad SAW sendiri pernah mendudukkan Abdullah kecil di pangkuannya dan bersabda,
“Sesungguhnya dia akan mendapat cobaan yang sangat berat, dan dia akan bersabar.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya dia akan mendapat cobaan yang sangat berat, dan dia akan bersabar.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat itu seolah menjadi spoiler hidupnya: penuh ujian, namun berakhir dengan kemenangan spiritual.
Simbol Perlawanan
Abdullah tumbuh sebagai sosok yang cerdas, pemberani, dan ahli ibadah. Namun ujian besar benar-benar datang setelah wafatnya Sayyidina Husain RA di Karbala.
Ketika pemerintahan Bani Umayyah di bawah Yazid bin Muawiyah dinilai menindas, banyak umat memandang Abdullah bin Zubair sebagai simbol harapan.
Desakan demi desakan datang hingga ia dibaiat sebagai Amirul Mukminin di Makkah.
Menariknya, ia menolak sistem monarki warisan Umayyah dan berusaha mengembalikan konsep syura (musyawarah), meniru gaya kepemimpinan Khulafaur Rasyidin.
Selama hampir sembilan tahun, kekuasaannya diakui di sebagian besar wilayah Islam — dari Hijaz hingga Irak.
Pertempuran di Tanah Suci
Namun, panggung sejarah sering menghadirkan tragedi. Ketika Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah, ia mengutus Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi — panglima yang terkenal bengis — untuk menghentikan perlawanan Abdullah.
Makkah pun dikepung. Tragisnya, Ka'bah menjadi sasaran manjaniq (ketapel raksasa) hingga rusak parah.
Di usia senja, Abdullah menghadapi dilema: menyerah atau bertahan. Di sinilah peran ibunya, Asma’, menjadi kunci.
Dalam sebuah percakapan yang diabadikan para sejarawan, Asma’ berkata:
“Wahai anakku, jika engkau di atas kebenaran, bersabarlah sampai engkau terbunuh di jalan-Nya. Jangan biarkan pemuda Bani Umayyah mempermainkanmu.”
“Wahai anakku, jika engkau di atas kebenaran, bersabarlah sampai engkau terbunuh di jalan-Nya. Jangan biarkan pemuda Bani Umayyah mempermainkanmu.”
Kalimat itu membakar kembali semangatnya. Abdullah memilih melawan hingga tetes darah terakhir.
Syahid di Bawah Bayang Ka'bah
Tanggal 17 Jumadil Awal 73 H menjadi hari terakhirnya. Abdullah bertempur gagah berani hingga akhirnya syahid.
Kepalanya dipenggal, jasadnya dipertontonkan — sebuah pemandangan yang menyayat hati.
Namun bahkan di saat itu, seorang saksi mata yang hadir berkata:
“Demi Allah, aku mengenalnya sebagai orang yang paling banyak shalat dan puasa. Dia adalah manusia paling saleh yang aku kenal.”
Kematian Abdullah bin Zubair bukan akhir, melainkan klimaks dari perjuangan moral yang ia jalani.
Pelajaran yang Tetap Relevan
Kisah Abdullah bin Zubair seakan berbicara kepada kita hari ini:
Iman sampai akhir – Kemenangan sejati adalah menjaga prinsip hingga nafas terakhir.
Ujian adalah hadiah – Cobaan bukan tanda kebencian Allah, tapi cara-Nya memurnikan iman.
Ibu sebagai tiang keteguhan – Asma’ membuktikan bahwa peran ibu dapat melahirkan generasi pemberani.
Bahaya kekuasaan absolut – Tanpa moralitas, kekuasaan bisa melahirkan tragedi.
Sejarawan modern seperti Dr. Akram Nadwi bahkan menilai Abdullah bin Zubair sebagai “pembela model kepemimpinan adil” di era fitnah (perpecahan) Islam.
Kisahnya bukan sekadar sejarah, tetapi cermin untuk zaman ini — saat prinsip dan keberanian moral kerap tergadaikan.
Abdullah bin Zubair bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah simbol perlawanan terhadap tirani, penjaga kehormatan Ka'bah, dan teladan bagi siapa pun yang memilih prinsip di atas kompromi.
Darahnya yang tumpah di tanah suci adalah pengingat bahwa harga kebenaran sering kali adalah pengorbanan tertinggi.
Dan di era modern ini, kisahnya mengajarkan kita satu hal: kebenaran layak diperjuangkan, bahkan jika harus dibayar dengan segalanya.(*)
Dan di era modern ini, kisahnya mengajarkan kita satu hal: kebenaran layak diperjuangkan, bahkan jika harus dibayar dengan segalanya.(*)