![]() |
Foto Ilustrasi |
Suluah.id - Bayangkan suasana menjelang Fathu Makkah, momen yang paling menentukan dalam sejarah Islam. Pasukan kaum Muslimin tengah bersiap, rencana besar harus dijaga rapat. Semua orang tahu, sekali bocor, bisa berakibat fatal.
Tapi di tengah operasi senyap itu, ada seorang sahabat Nabi yang justru melakukan sesuatu tak terduga: mengirim surat rahasia kepada Quraisy. Namanya Hathib bin Abi Balta’ah.
Sekilas, tindakannya terdengar seperti pengkhianatan. Tapi kalau kita selami lebih dalam, kisah Hathib justru memberi pelajaran berharga: tentang kelemahan manusia, ketegasan prinsip, sekaligus keluasan kasih sayang Nabi Muhammad SAW.
Dari Veteran Badar ke “Kesalahan Fatal”
Hathib bukan orang biasa. Ia termasuk sahabat yang ikut Perang Badar—sebuah pertempuran yang disebut Al-Qur’an sebagai “hari pemisah antara hak dan batil.” Statusnya sebagai mawla (bekas budak yang dimerdekakan) membuat ia tak punya “suku besar” yang bisa melindungi keluarganya di Mekah.
Sejarawan Islam klasik, Imam Adz-Dzahabi, menggambarkannya sebagai pribadi cerdas dan penuh pertimbangan. Jadi, ketika ia mengirim surat kepada Quraisy berisi informasi rahasia, itu bukan karena ingin berkhianat pada Islam, melainkan—dalam pikirannya—cara untuk melindungi anak dan keluarganya yang masih tinggal di Mekah.
Tapi tetap saja, ini adalah tindakan serius. Rasulullah SAW menerima wahyu tentang surat itu, lalu mengirim sahabat untuk mencegatnya. Hathib dipanggil. Umar bin Khattab yang terkenal tegas langsung marah besar, bahkan meminta izin untuk menghukum mati.
Namun Nabi SAW tidak terburu-buru. Beliau memberi kesempatan Hathib menjelaskan alasannya. Dengan penuh penyesalan, Hathib berkata:
“Ya Rasulullah, aku tidak pernah kafir sejak masuk Islam, dan tidak pernah berniat berkhianat. Tapi aku tidak punya suku yang melindungi keluargaku di Mekah. Aku hanya ingin menjaga mereka dengan cara ini.”
Mendengar itu, Nabi SAW menjawab: “Ia berkata jujur.” Beliau memaafkan Hathib, dan melarang para sahabat mencacinya.
Teguran Ilahi yang Abadi
Meski dimaafkan Nabi, Allah SWT menurunkan ayat pertama Surah Al-Mumtahanah. Teguran itu sangat jelas:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai sahabat setia, yang kamu sampaikan rahasia kepada mereka karena rasa kasih sayang...” (QS. Al-Mumtahanah: 1)
Mufasir modern seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an menjelaskan: ayat ini menegaskan prinsip loyalitas dalam iman. Ikatan darah, suku, atau kepentingan pribadi tidak boleh mengalahkan ikatan iman. Ini bukan sekadar aturan untuk masa lalu, tapi pedoman yang berlaku sepanjang zaman.
Apa yang Bisa Kita Pelajari Hari Ini?
Memahami ≠ Membenarkan
Nabi SAW memahami alasan Hathib, tapi tetap menegaskan kesalahannya. Inilah teladan kepemimpinan: bijak, tapi tidak kompromi pada prinsip.
Nabi SAW memahami alasan Hathib, tapi tetap menegaskan kesalahannya. Inilah teladan kepemimpinan: bijak, tapi tidak kompromi pada prinsip.
Kejujuran Menyelamatkan
Hathib selamat karena ia jujur. Dalam kehidupan modern—entah di kantor, keluarga, atau hubungan sosial—jujur saat salah adalah langkah pertama untuk memperbaiki diri.
Loyalitas di Era Globalisasi
Kita hidup di zaman di mana loyalitas sering terbelah: oleh politik, kelompok, bahkan algoritma media sosial. Kisah ini mengingatkan: loyalitas utama seorang Muslim adalah kepada kebenaran, bukan kepada kelompok atau kepentingan sesaat.
Kasih Sayang dan Keadilan Bisa Berjalan Bersama
Nabi SAW mencontohkan bahwa seorang pemimpin bisa tegas sekaligus penuh kasih sayang. Tegas pada prinsip, lembut pada manusia.
Kisah yang Tak Lekang oleh Zaman
Hathib bin Abi Balta’ah tidak dikenang sebagai pengkhianat. Ia tetap dihormati sebagai sahabat Nabi, veteran Perang Badar, dan seorang Muslim yang belajar dari kesalahan. Dari kisahnya, kita mendapat pelajaran abadi: kesalahan bukan akhir dari segalanya, selama ada kejujuran, taubat, dan ruang maaf.
Sejarah Islam menyimpan banyak kisah kepahlawanan di medan perang, tapi kisah Hathib adalah pahlawan di medan hati: medan di mana rasa takut, kasih sayang, dan iman beradu. Dan dari sanalah, lahir sebuah pelajaran: bahwa rahmat Allah selalu lebih luas dari dosa hamba-Nya.(*)