Suluah.id - Beberapa tahun terakhir, istilah sandwich generation terdengar seperti momok baru. Banyak orang dewasa muda merasa hidupnya “terhimpit”: orang tua di satu sisi, anak di sisi lain. Beban ekonomi, emosi, dan tanggung jawab seolah datang bersamaan.
Padahal, jika kita menarik napas sejenak dan melihat sejarah kehidupan manusia, satu hal menjadi terang: sandwich generation bukan fenomena baru. Ini adalah siklus alami kehidupan.
Sejak dulu, orang dewasa di usia produktif memang selalu berada di tengah. Mereka merawat orang tua yang mulai renta, sekaligus membesarkan anak yang masih bergantung.
Bedanya, hari ini tantangannya terasa lebih berat—biaya hidup meningkat, tekanan kerja tinggi, dan jejaring sosial kian menyempit.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk usia produktif Indonesia masih mendominasi, sementara usia lanjut terus meningkat. Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat stres kronis dan kelelahan mental menjadi masalah serius di kelompok usia kerja. Di sinilah persoalannya: bukan karena kita menjadi sandwich, tetapi karena banyak dari kita belum siap menjalaninya.
Menjadi sandwich itu normal. Yang sering membuat kewalahan adalah kapasitas diri yang belum terbentuk. Tubuh kurang dijaga, mental tak pernah dilatih menghadapi tekanan, relasi keluarga rapuh, dan perencanaan hidup minim. Akibatnya, beban yang seharusnya wajar terasa menyesakkan.
Padahal, peran ini bisa dijalani dengan bertumbuh. Ayah—dan ibu—yang kuat bukanlah mereka yang bebas dari beban, melainkan yang mampu memperbesar kapasitas diri: menjaga kebugaran, merawat kesehatan mental, mengelola emosi, berpikir sistematis, serta tahu kapan harus meminta bantuan dan beristirahat.
Yang kerap terlupa, sandwich generation juga memuat kehormatan. Orang tua yang kita topang hari ini pernah berkorban untuk kita. Anak-anak yang kita perjuangkan hari ini adalah penerus kehidupan esok hari. Kita berada di tengah bukan secara kebetulan, melainkan karena dipercaya menjadi jembatan.
Sandwich bukan tentang memikul segalanya sendirian. Ini tentang membangun kekuatan—fisik, mental, dan jejaring dukungan. Kita bukan korban sandwich. Kita adalah penghubung kehidupan, penjaga keseimbangan antar generasi.(*)



