Suluah.id - Di zaman serba cepat, sibuk sering diperlakukan seperti lencana kehormatan. Agenda penuh dianggap bukti produktivitas. Ponsel tak berhenti berdering, kalender padat berwarna-warni, dan waktu terasa selalu kurang. Kita pun merasa hidup berada sepenuhnya dalam kendali.
Namun, benarkah kesibukan selalu berarti kemajuan?
Di balik rutinitas yang padat, kerap tersembunyi asumsi rapuh: seolah hidup sepenuhnya dapat kita atur, rencanakan, dan kendalikan. Padahal, manusia sejatinya hanya menenun sebagian kecil dari takdir yang jauh lebih luas daripada jangkauan akalnya.
Para ulama salaf sejak lama mengingatkan hal ini lewat sebuah ungkapan sederhana namun dalam maknanya:
الغافل إذا أصبح ينظر ماذا يفعل والعاقل ينظر ماذا يفعل الله به
Orang yang lalai memulai harinya dengan memikirkan apa yang akan ia lakukan, sedangkan orang berakal memulai harinya dengan merenungi apa yang Allah sedang lakukan terhadap dirinya.
Kalimat ini bukan ajakan untuk pasrah tanpa usaha, melainkan undangan untuk menata ulang cara pandang terhadap hidup.
Merencanakan Hidup: Ikhtiar atau Ilusi Kendali?
Islam tidak pernah menolak perencanaan. Akal sehat justru menuntut ikhtiar. Namun, pertanyaan pentingnya adalah: dengan posisi apa kita merencanakan hidup?
Sebagai hamba yang menyadari keterbatasan, atau sebagai “penguasa” yang merasa segalanya bisa ditentukan sendiri?
Di titik inilah Al-Qur’an memberi pengingat yang lembut sekaligus tegas:
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
“Kalian tidak akan mampu berkehendak kecuali bila Allah menghendaki.”
(QS. At-Takwir: 29)
Ayat ini bukan penafian usaha, melainkan penataan hati. Usaha tetap berjalan, rencana tetap disusun, tetapi kesadaran bahwa ada kehendak yang lebih tinggi membuat manusia tidak mudah sombong saat berhasil dan tidak hancur saat gagal.
Mengenal Tuhan di Saat Lapang
Rasulullah SAW juga mengajarkan prinsip keseimbangan yang sering kita lupakan:
تعرّف إلى الله في الرخاء يعرفْك في الشدة
“Kenalilah Allah di saat lapang, niscaya Dia akan mengenalmu di saat sempit.”
(HR. Tirmidzi)
تعرّف إلى الله في الرخاء يعرفْك في الشدة
“Kenalilah Allah di saat lapang, niscaya Dia akan mengenalmu di saat sempit.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini menyentil kebiasaan banyak orang yang baru menengadah ketika rencana mentok, bisnis macet, atau hidup terasa sempit. Padahal, pengenalan kepada Tuhan seharusnya bukan respons darurat, melainkan hubungan yang terus dirawat—bahkan ketika hidup sedang baik-baik saja.
Psikologi modern pun menguatkan pesan ini.
Sejumlah studi tentang mindfulness dan spiritual well-being menunjukkan bahwa kesadaran akan keterbatasan diri dan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar—termasuk nilai spiritual—mampu menurunkan stres, meningkatkan ketenangan batin, dan membuat seseorang lebih adaptif menghadapi perubahan hidup (American Psychological Association, 2022).
Perahu Kecil di Lautan Takdir
Hidup barangkali paling tepat diibaratkan sebagai perahu kecil di tengah samudra luas. Kita mengatur layar, memilih arah, dan memegang kemudi. Namun angin bukan kita yang meniup, dan arus bukan kita yang mengendalikan.
Orang bijak bukanlah mereka yang sibuk membanggakan peta perjalanan, melainkan yang peka membaca tanda-tanda alam: kapan harus maju, kapan harus menepi, dan kapan harus menunggu.
Dalam khazanah tasawuf, Ibn ‘Athaillah As-Sakandari merangkumnya dengan sangat jernih:
“Tidaklah bergerak sesuatu kecuali dengan izin-Nya, dan tidaklah diam sesuatu kecuali dalam ilmu-Nya.”
Sebuah pengingat bahwa hidup bukan sekadar proyek pribadi, melainkan perjalanan spiritual yang sarat isyarat.
Ukuran Kecerdasan yang Sering Terlupa
Pada akhirnya, orang berakal bukanlah mereka yang paling sibuk, paling penuh agenda, atau paling banyak rencana.
Orang berakal adalah mereka yang paling peka menangkap pesan Tuhan dalam setiap peristiwa—baik yang menyenangkan maupun yang menyesakkan.
Ketika orang lalai sibuk merancang apa yang ingin ia lakukan hari ini, orang berakal justru bertanya dengan jujur, “Apa yang sedang Allah ajarkan padaku hari ini?”
Di sanalah hidup menemukan arahnya. Bukan ketika kita merasa memegang kendali penuh, tetapi ketika hati menyadari siapa sebenarnya yang mengemudikan perjalanan ini. (*)



