Suluah.id - Di banyak ruang kelas, satu pengumuman selalu ditunggu—sekaligus ditakuti: daftar peringkat. Ada yang pulang dengan dada membusung, ada pula yang menunduk, menyimpan rapor rapat-rapat di tas.
Padahal, benarkah angka di rapor mampu menentukan masa depan seorang anak?
Ketika Rangking Memacu, Sekaligus Menekan
Dari sisi psikologi pendidikan, sistem perangkingan memang punya dua wajah. Bagi sebagian siswa, peringkat menjadi pemicu motivasi. Target jelas, semangat belajar terjaga, dan anak tahu posisi akademiknya.
Riset OECD dalam Education at a Glance menunjukkan bahwa sistem evaluasi yang terukur dapat meningkatkan kedisiplinan belajar—jika disertai pendampingan yang tepat.
Namun, bagi siswa lain, rangking justru menjadi beban psikologis. Anak dengan peringkat bawah rentan mengalami penurunan kepercayaan diri, merasa “tidak pintar”, bahkan menarik diri secara sosial.
Psikolog pendidikan mencatat, sistem ini sering kali hanya mengukur kecerdasan logika dan bahasa, sementara bakat seni, empati, kepemimpinan, dan keterampilan sosial nyaris tak terlihat—padahal justru itulah bekal penting di kehidupan nyata.
Belajar Bersaing atau Belajar Berjarak?
Pendukung perangkingan kerap berargumen: hidup adalah kompetisi. Dunia kerja penuh seleksi. Anak perlu dilatih sejak dini. Ada benarnya. Tapi persoalannya bukan pada kompetisi, melainkan cara berkompetisi.
Ketika rangking dipahami secara sempit, ruang kelas bisa berubah menjadi arena saling menjatuhkan. Kolaborasi melemah, empati menipis.
Padahal, World Economic Forum menempatkan collaboration dan emotional intelligence sebagai keterampilan kunci abad ke-21—kemampuan yang justru tumbuh lewat kerja sama, bukan sekadar lomba angka.
Pandangan Islam: Berlomba, Tapi Tetap Memanusiakan
Islam tidak menolak kompetisi. Bahkan mendorongnya melalui prinsip fastabiqul khairat—berlomba dalam kebaikan. Namun orientasinya jelas: bukan mengalahkan orang lain, melainkan memperbaiki diri.
Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13).
Artinya, nilai manusia tidak ditentukan oleh rangking akademik. Anak yang kesulitan matematika bisa jadi unggul dalam kejujuran, kepedulian sosial, atau bakti kepada orang tua—nilai-nilai yang dalam Islam justru bernilai tinggi.
Islam juga menekankan keberkahan proses, bukan sekadar hasil. Rangking satu yang diraih dengan ketidakjujuran adalah kemenangan semu. Sebaliknya, usaha jujur yang mungkin tak berperingkat tinggi tetap bernilai ibadah dan membawa manfaat.
Lebih dari Sekadar Angka
Para pendidik sepakat, evaluasi tetap penting. Namun ia harus adil, menyeluruh, dan manusiawi. WHO dan UNESCO dalam laporan pendidikan global menekankan pentingnya student well-being—kesehatan mental anak sama pentingnya dengan capaian akademik.
Pada akhirnya, rangking di rapor bukanlah rangking nasib. Masa depan anak lebih banyak ditentukan oleh karakter, integritas, daya juang, dan kemampuan beradaptasi.
Angka bisa membuka pintu, tetapi akhlak dan kompetensi hiduplah yang membuat seseorang bertahan di dalamnya.
Karena sekolah sejatinya bukan pabrik juara, melainkan ruang tumbuh manusia seutuhnya.(*)



