Iklan

Ketika Allah Bertanya: “Belumkah Datang Waktunya?”

16 Desember 2025, 08:11 WIB


Suluah.id- Ada kalanya manusia merasa dirinya seperti langit yang muram—penuh beban, menyimpan cerita yang enggan dibuka kembali. Hidup berjalan, ibadah tetap dilakukan, doa tak pernah putus. Namun entah mengapa, hati terasa datar. Tidak lagi bergetar. Tidak lagi basah.

Dalam kondisi seperti itulah Al-Qur’an hadir bukan dengan hardikan, melainkan dengan sebuah pertanyaan yang sangat lembut—namun mengguncang.

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah…?”
(QS. Al-Hadid: 16)

Ayat ini bukan palu yang memukul kesadaran, melainkan ketukan pelan di pintu hati. Allah tidak berkata, “Kalian telah lalai,” tetapi bertanya, “Belumkah datang waktunya?”

Sebuah pertanyaan yang mengandung kasih sayang, bukan vonis.

Pertanyaan yang Menyelamatkan


Para mufasir klasik menaruh perhatian besar pada redaksi ayat ini. 

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa ayat ini turun sebagai peringatan penuh kelembutan, agar iman tidak sekadar tinggal nama dan rutinitas.

Sementara Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini sebagai ajakan untuk tajdidul iman—pembaruan iman—karena iman yang dibiarkan tanpa perawatan bisa menua, bahkan mengeras.

Yang ditegur bukanlah dosa besar.
Bukan pula kemaksiatan yang terang-terangan.

Yang disentuh justru sesuatu yang paling halus: hati yang menunda untuk tunduk.
Kita bisa rajin beribadah, fasih melafalkan ayat, akrab dengan majelis ilmu. Namun ayat ini bertanya lebih dalam:
Apakah hati masih ikut hadir, atau hanya tubuh yang terbiasa bergerak?

Ketika Waktu Menjadi Ujian


Allah lalu mengajak manusia menengok sejarah. Tentang umat-umat terdahulu yang juga menerima kitab dan petunjuk, tetapi membiarkan waktu berjalan terlalu lama tanpa rasa. Rutinitas menggantikan kesadaran. Ibadah kehilangan ruhnya.
“…kemudian berlalu masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras.”

Menurut para ulama, kekerasan hati tidak selalu lahir dari penolakan, tetapi sering kali dari penundaan. Menunda taubat. Menunda tangisan. Menunda kembali dengan sungguh-sungguh.

Hingga jarak antara ayat dan hati makin jauh—bukan karena Allah menjauh, tetapi karena manusia terlalu lama berjalan tanpa benar-benar menyapa-Nya.

Ayat yang Mengajak Menunduk, Bukan Menghakimi


Menariknya, ayat ini tidak menunjuk siapa pun. Tidak memerintah untuk menghakimi orang lain. Ia mengajak setiap pembacanya menunduk ke dalam diri sendiri.

Bukan, “kalian telah keras,”
melainkan, “jangan sampai menjadi seperti itu.”

Sebuah peringatan penuh empati, agar iman tetap hidup, sensitif, dan lembut—meski usia bertambah, hafalan meningkat, dan pengalaman spiritual makin panjang.

Dalam perspektif psikologi spiritual Islam, hati yang hidup adalah hati yang masih bisa tersentuh. Masih bisa merasa bersalah. Masih bisa menangis dalam diam. Rasulullah SAW sendiri berdoa agar dijauhkan dari hati yang tidak khusyuk (qalbun la yakhsha), sebagaimana diriwayatkan dalam hadis sahih.

Cermin di Keheningan


Ayat ini terasa seperti cermin di waktu sunyi. Bukan untuk menakut-nakuti, melainkan menyadarkan. Bahwa iman bukan sekadar bertahan, tetapi terus dihidupkan. Bahwa hati tidak cukup diarahkan—ia perlu disentuh.

Dan bahwa waktu adalah ujian paling jujur:
ia bisa mematangkan,
atau justru mengeraskan.

Maka doa pun mengalir sederhana, tanpa retorika:
Ya Allah, jika waktu itu telah datang, jangan biarkan aku menundanya lagi.
Jika hatiku mulai mengeras, lembutkanlah sebelum aku terbiasa.
Dan jika ayat ini Engkau tanyakan kepadaku, semoga aku menjawabnya bukan dengan alasan,
melainkan dengan tunduk yang perlahan kembali hidup.”

Karena sejatinya, tidak ada dosa yang lebih kuat dari kasih sayang Allah. Yang ada hanyalah hati yang belum berani kembali sepenuhnya.(*) 
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Ketika Allah Bertanya: “Belumkah Datang Waktunya?”

Iklan