Suluah.id - Ada satu penyakit hati yang jarang disadari, namun sering diam-diam menggerogoti orang-orang baik. Ia tidak selalu muncul dalam bentuk maksiat terang-terangan. Tidak berisik. Tidak memalukan. Tapi perlahan melemahkan langkah.
Namanya: sesak dada ketika melihat orang lain lebih unggul.
Lebih cepat berhasil.
Lebih dipercaya.
Lebih dikenal.
Lebih naik.
Sementara kita—yang merasa sudah lama berjuang—masih berjalan pelan di jalur yang sepi.
Fenomena ini bukan hanya dialami masyarakat awam. Justru sering menimpa orang-orang beriman: aktivis sosial, pendakwah, relawan kemanusiaan, hingga mereka yang dikenal saleh dan konsisten berbuat baik.
Sesak Itu Manusiawi, Tapi Jangan Dipelihara
Islam tidak menafikan sisi kemanusiaan. Rasa tidak nyaman saat melihat kelebihan orang lain adalah hal yang wajar. Bahkan para sahabat Nabi pun pernah merasakannya.
Yang membedakan orang beriman dengan yang lalai bukanlah ada atau tidaknya rasa itu, melainkan apa yang dilakukan setelahnya.
Allah sendiri telah mengingatkan bahwa perbedaan derajat adalah bagian dari sunnatullah.
“Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain dalam beberapa derajat.”
(QS. Az-Zukhruf: 32)
Ayat ini menegaskan satu hal penting: perbedaan prestasi dan kedudukan bukan tanda ketidakadilan Allah, melainkan bentuk pengaturan-Nya yang penuh hikmah.
Belajar dari Para Sahabat: Iri yang Menyelamatkan
Sejarah Islam mencatat, para sahabat sering merasa “tertinggal” ketika melihat keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Dalam banyak momentum penting—hijrah, infak, kepemimpinan, hingga pengorbanan—nama Abu Bakar selalu berada di barisan terdepan.
Umar bin Khattab bahkan dengan jujur mengakui:
“Aku tidak pernah berlomba dengan Abu Bakar kecuali aku selalu kalah.”
(HR. Ahmad)
Namun perhatikan sikap Umar.
Ia tidak dengki, tidak menjatuhkan, dan tidak berhenti beramal.
Ia memahami satu hal mendasar:
Allah memberi jalan yang berbeda kepada setiap hamba-Nya.
Inilah contoh ghibthah—rasa ingin seperti orang lain tanpa kebencian—yang dalam Islam justru dibenarkan dan menyelamatkan.
Prestasi Tinggi, Hisab Lebih Berat
Sering kali kita lupa satu sisi lain dari popularitas dan kepercayaan publik: hisab yang berat di hadapan Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Jabatan, pengaruh, dan sorotan bukan sekadar hadiah. Ia adalah amanah yang kelak dipertanyakan satu per satu.
Maka bisa jadi, yang kita iri-kan hari ini adalah panggungnya—bukan beban pertanggungjawabannya.
Orang Biasa yang Dijamin Surga
Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad, Rasulullah ﷺ pernah menunjuk seorang lelaki Anshar yang tampak biasa saja, lalu bersabda:
“Akan masuk surga seorang lelaki dari penduduk ini.”
Tak ada catatan amal spektakuler.
Tak terkenal.
Tak punya jabatan.
Namun setelah ditelusuri, rahasianya sederhana tapi berat: hati yang bersih.
Tidak menyimpan dengki.
Tidak iri.
Tidak menaruh kebencian.
Tak terkenal.
Tak punya jabatan.
Namun setelah ditelusuri, rahasianya sederhana tapi berat: hati yang bersih.
Tidak menyimpan dengki.
Tidak iri.
Tidak menaruh kebencian.
Pesannya jelas: surga bukan untuk yang paling bersinar, tetapi untuk yang paling bersih hatinya.
Fenomena Kekinian: Ketika Aktivis Mulai Gugur
Di era media sosial, ujian ini semakin nyata.
Ada yang baru bergerak, tapi cepat viral.
Ada yang lama berkhidmat, tapi tetap di balik layar.
Ada yang populer, ada yang istiqamah namun sepi apresiasi.
Lalu muncul bisikan-bisikan halus:
“Kenapa bukan saya?”
“Padahal saya lebih lama berjuang.”
Banyak yang akhirnya berhenti bukan karena lelah fisik, melainkan karena lelah batin dan kecewa hati. Penyakit ini jarang disadari, tapi sangat merusak.
Mengubah Iri Menjadi Doa dan Evaluasi
Rasulullah ﷺ mengajarkan jalan keluar yang elegan: doa, bukan kebencian.
Mendoakan kebaikan bagi orang yang kita iri-kan adalah terapi hati yang paling jujur.
Mendoakan kebaikan bagi orang yang kita iri-kan adalah terapi hati yang paling jujur.
Sekaligus bertanya pada diri sendiri:
Apakah aku bekerja untuk Allah?
Ataukah untuk pengakuan manusia?
Pertanyaan ini sering tidak nyaman—namun justru menyelamatkan.
Apakah aku bekerja untuk Allah?
Ataukah untuk pengakuan manusia?
Pertanyaan ini sering tidak nyaman—namun justru menyelamatkan.
Allah Tidak Menilai Ranking
Allah menutup semua kegelisahan ini dengan satu standar yang sangat adil:
“Agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.”
(QS. Al-Mulk: 2)
Bukan yang paling cepat.
Bukan yang paling terkenal.
Bukan yang paling tinggi posisinya.
Tetapi yang paling baik amalnya:
ikhlas, jujur, dan istiqamah.
Jika hari ini engkau merasa tertinggal, boleh jadi:
Engkau diperlambat agar diselamatkan
Engkau tidak ditinggikan agar hatimu dijaga
Engkau direndahkan di mata manusia agar ditinggikan di sisi Allah
Tenanglah. Allah tidak pernah salah menempatkan hamba-Nya.
Semoga hati kita dijauhkan dari iri yang merusak, dan diganti dengan kelapangan dada serta keikhlasan yang menenangkan.
(*)



