Suluah.id - Di tengah dunia yang serba cepat—timeline media sosial yang tak pernah habis, target hidup yang dikejar dari pagi hingga malam—kita sering lupa satu hal mendasar: hidup ini tidak berhenti hari ini.
Bagi seorang mukmin, hidup bukan sekadar urusan “sekarang”. Ada hari esok yang jauh lebih panjang, lebih nyata, dan jauh lebih menentukan. Dunia hanyalah tempat singgah, bukan tujuan akhir. Sebuah ladang tempat menanam, bukan ruang panen.
Al-Qur’an mengingatkan dengan bahasa yang tegas sekaligus menenangkan:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).”
(QS. Al-Hasyr: 18)
Ayat ini sering dibaca, tetapi jarang direnungkan sedalam maknanya. Menariknya, perintah “bertakwalah kepada Allah” diulang dua kali.
Seolah Allah sedang memberi garis tebal: takwa tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus terlihat dari bagaimana kita menyiapkan masa depan.
Takwa, dalam konteks ini, bukan sekadar rasa takut. Ia adalah sikap hidup yang sadar arah. Visioner. Punya tujuan jangka panjang.
Hidup Seperti Musafir
Rasulullah ﷺ menggambarkan kehidupan dunia dengan sangat sederhana namun mengena:
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang musafir.”
(HR. Bukhari)
Musafir paham betul: ia tidak membangun rumah megah di tengah jalan. Ia hanya membawa bekal secukupnya—yang penting cukup untuk sampai tujuan.
Begitu pula hidup. Dunia bukan tempat menetap, melainkan jalur perjalanan. Sayangnya, banyak dari kita justru sibuk memperindah “terminal”, lupa tujuan akhirnya.
Makna “Hari Esok” yang Sering Terlewat
Kata “li-ghad” (hari esok) dalam Al-Qur’an ternyata memiliki dua makna sekaligus.
Pertama, masa depan duniawi: pendidikan, kesehatan, keterampilan, ekonomi yang halal dan berkelanjutan. Islam tidak anti perencanaan. Bahkan, perencanaan adalah bagian dari amanah hidup.
Namun kedua—dan ini yang paling penting—hari esok juga berarti akhirat. Sebuah kehidupan yang tidak mengenal pensiun, tidak ada kematian kedua, dan tidak ada pengulangan.
Nabi ﷺ merangkum keseimbangan ini dalam sebuah pesan yang sangat relevan lintas zaman:
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati besok.”
(HR. Ibnu ‘Asakir)
Artinya, seriuslah menjalani hidup. Tapi jangan pernah menunda kebaikan.
Setiap Amal adalah Kiriman
Al-Qur’an menggunakan kata qaddamat—“apa yang telah ia kirimkan ke depan”. Ini bukan pilihan kata yang kebetulan.
Setiap kebaikan yang kita lakukan hari ini—salat, sedekah, menolong orang lain, berbagi ilmu—sesungguhnya adalah paket yang kita kirim ke masa depan. Kita mungkin belum membuka hasilnya sekarang, tetapi ia pasti sampai.
Sebaliknya, dosa dan kelalaian adalah “kiriman buruk” yang suatu hari akan kita terima kembali.
Dan tak ada yang terlewat. Allah menutup ayat itu dengan peringatan:
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui secara detail apa yang kamu kerjakan.”
Bukan hanya perbuatannya, tetapi juga niatnya. Motifnya. Bahkan hal-hal yang tidak pernah tercatat di mata manusia.
Saatnya Mengecek “Buku Amal”
Al-Qur’an juga menggunakan kata nazar—melihat dengan penuh perenungan. Inilah yang oleh para ulama disebut muhasabah.
Seperti pedagang yang rutin mengecek laporan keuangan, manusia beriman perlu mengecek laporan hidupnya.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.”
(HR. At-Tirmidzi)
Pertanyaannya sederhana, tapi jujur:
Hari ini, apa yang lebih banyak kita kirim? Cahaya atau beban?
Dunia: Besar di Mata, Kecil di Akhirat
Al-Qur’an tidak menafikan dunia. Tetapi Allah menempatkannya secara proporsional:
“Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
(QS. Al-Hadid: 20)
Kesuksesan tanpa ketakwaan ibarat karung besar yang tampak penuh—tetapi isinya hanya ilalang. Banyak, namun tak bernilai saat dibutuhkan.
Investasi yang Tak Pernah Rugi
Islam menawarkan konsep investasi paling stabil sepanjang masa: amal jariyah.
Nabi ﷺ bersabda:
“Jika manusia meninggal, terputus amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim)
Inilah bekal yang tetap bekerja bahkan saat kita sudah tak mampu berbuat apa-apa.
Menutup Hari Ini, Menyongsong Esok
Waktu terus berjalan. Kita semua sedang menuju “hari esok” itu—suka atau tidak.
Pertanyaannya tinggal satu:
Bekal apa yang sedang kita siapkan?
Al-Qur’an mengajak dengan nada penuh harap:
“Bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.”
(QS. Ali ‘Imran: 133)
Karena sesungguhnya, hidup yang paling nyata bukanlah yang sedang kita jalani sekarang—melainkan yang sedang kita persiapkan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang cerdas memandang jauh ke depan. Bukan hanya sukses hari ini, tetapi selamat untuk selamanya.
Aamiin.
(*)



