Suluah.id - Setiap orang tentu punya mimpi dan rencana. Ada yang ingin menunaikan haji sebelum usia 40, ada pula yang masih sibuk menabung untuk membangun rumah impian. Tapi, seberapa sering kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: apakah semua ini akan benar-benar sempat kita nikmati?
Kehidupan, kata pepatah lama, berputar seperti roda. Ada masa muda yang penuh ambisi, masa mapan yang sibuk mengejar pencapaian, lalu masa senja yang seharusnya menjadi waktu menepi, merenungi makna.
Sayangnya, tidak semua orang sampai pada titik kesadaran itu. Masih banyak yang di usia senja justru semakin terpaku pada dunia, seolah hidup ini takkan berakhir.
Ketika Panjang Angan Mengaburkan Tujuan
Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi, Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan,
“Dua hal yang paling aku takutkan menimpa umatku: hawa nafsu yang diperturutkan dan panjang angan-angan.”
Pesan ini terasa begitu relevan hari ini. Kita hidup di era yang serba cepat dan penuh target — rumah harus punya dua lantai, anak harus sekolah di luar negeri, bisnis harus viral di media sosial. Semua sah-sah saja, tapi masalahnya muncul ketika angan-angan itu membuat kita lupa arah: bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar, tapi juga menyiapkan diri untuk pulang.
Dalam surah At-Takatsur, Allah mengingatkan manusia yang terlalu larut dalam perlombaan dunia:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1–2).
Ayat ini bukan sekadar ancaman, tapi tamparan lembut: ingatlah batas waktu kita. Sebab, ajal tidak datang dengan pemberitahuan.
Menemukan Arti “Cukup” di Usia Senja
Bagi sebagian orang tua, dunia seolah tak pernah cukup. Padahal, usia seharusnya mendekatkan pada keikhlasan, bukan pada keserakahan. Dalam surah Al-A’la (17), Allah menegaskan:
“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Psikolog klinis dari Universitas Indonesia, Dr. Ratna Juwita, menjelaskan dalam risetnya tentang spiritual aging (2022), bahwa “manusia yang mampu menerima kefanaan hidupnya akan hidup lebih damai dan memiliki tingkat stres yang jauh lebih rendah.”
Ia menambahkan, spiritualitas menjadi fondasi penting untuk kesehatan mental di usia lanjut.
Kesadaran inilah yang sering hilang. Mungkin karena terlalu sibuk menyiapkan masa depan anak-anak, atau sekadar tak ingin “kalah” dari rekan sebaya yang sukses.
Padahal, seperti doa yang diajarkan dalam surah Al-Ahqaf (15):
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu dan mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai.”
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu dan mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai.”
Syukur, ternyata, adalah penanda kedewasaan sejati.
Pemuda, Energi Umat yang Mulai Loyo
Sementara itu, di sisi lain, generasi muda menghadapi tantangan berbeda. Dunia digital membuat segalanya mudah, tapi juga membuat sebagian pemuda kehilangan semangat juang.
Banyak yang ingin hasil cepat tanpa proses. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang kuat lagi mandiri.” (HR. Muslim).
“Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang kuat lagi mandiri.” (HR. Muslim).
Kekuatan di sini bukan hanya otot, tapi tekad dan daya tahan menghadapi cobaan. Dalam konteks modern, ini bisa berarti resilience — kemampuan bangkit setelah gagal, tetap berjuang tanpa keluhan.
Motivator muda seperti Felix Siauw dan Ustaz Hanan Attaki kerap menekankan pentingnya keseimbangan: menjadi pemuda yang tangguh di siang hari, dan lembut hatinya di malam hari.
“Energi muda adalah anugerah, tapi kalau tak diarahkan, ia akan padam sebelum waktunya,” ujar Hanan dalam salah satu kajian daringnya.
Pemimpin, Ibadah, dan Godaan Riya
Tidak hanya rakyat, pemimpin pun diuji. Kekuasaan mudah membuat manusia silau. Dalam banyak hadis disebutkan, keadilan adalah tiang utama kepemimpinan. Tanpanya, kekuasaan hanya menjadi jalan menuju kehancuran.
Begitu pula dengan ibadah. Tidak sedikit orang yang semangat beramal, tapi jatuh dalam jebakan riya’ — ingin dilihat dan dipuji. Rasulullah ﷺ bahkan menyebutnya sebagai “syirik kecil”.
Amal sekecil apa pun, jika dilakukan dengan ikhlas, lebih bernilai daripada seribu amal yang penuh pencitraan.
Warisan Terindah: Anak Saleh dan Doa yang Tak Pernah Putus
Dalam hidup, ada warisan yang jauh lebih berharga daripada rumah atau tabungan: anak yang saleh dan doa yang tulus. Doa seorang anak yang berbakti disebut sebagai amal jariyah yang terus mengalir bahkan setelah orang tuanya tiada.
“Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra: 24).
Psikolog keluarga Elly Risman pernah mengatakan, mendidik anak bukan sekadar membuat mereka sukses, tapi menanamkan nilai agar mereka tahu bagaimana memperlakukan orang tuanya kelak. Itulah warisan sejati — karakter dan doa yang abadi.
Menutup Hari dengan Kesadaran
Hidup bukan tentang berapa banyak yang kita kumpulkan, tapi berapa banyak yang kita siapkan untuk dibawa. Sebab, setiap manusia akan sampai pada satu titik yang pasti: ajal.
“Maka apabila ajal mereka datang, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun.” (QS. Al-A’raf: 34).
Maka, di sisa umur dan napas yang kita miliki, terutama di bulan suci Ramadan, mari kita perbanyak refleksi. Bersyukur, berbuat baik, dan kembali mendekat pada Sang Pencipta. Karena, pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan harta yang menumpuk — melainkan hati yang tenang dan amal yang tulus..(*)



