Suluah.id - Setiap tanggal 12 November, linimasa media sosial kita ramai oleh foto ayah dan anak, video penuh haru, hingga ucapan “Selamat Hari Ayah” yang disertai emoji hati.
Namun, di balik segala unggahan itu, terselip satu pertanyaan sederhana yang sering luput:
Apa sebenarnya makna Hari Ayah bagi kita?
Bagi sebagian orang, Hari Ayah adalah waktu untuk mengenang sosok yang telah tiada. Ada yang menatap foto lama sambil tersenyum getir, teringat pada tangan kokoh yang dulu menggandeng saat belajar berjalan, atau suara tegas yang kini hanya bisa dikenang.
Namun bagi sebagian lain, hari ini justru terasa janggal. Tak semua hubungan ayah dan anak tumbuh dalam dekapan yang hangat. Ada jarak, luka, dan kata yang tak pernah sempat terucap.
Saat Ayah Belajar Hadir Kembali
Seiring bertambahnya usia, banyak ayah yang mulai menyadari satu hal penting: kehadiran jauh lebih berharga daripada sekadar pemberian.
Zaman dulu, menjadi ayah identik dengan peran pencari nafkah—bekerja keras dari pagi hingga larut demi keluarga. Namun kini, makna itu perlahan bergeser.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), tren keluarga modern menunjukkan peningkatan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Ayah kini tak lagi sekadar figur otoritas, tapi juga teman cerita, pendengar yang sabar, bahkan koki dadakan di akhir pekan.
Psikolog keluarga Anna Surti Ariani, dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), pernah mengatakan, “Kehadiran emosional ayah sama pentingnya dengan kehadiran fisik. Anak-anak yang merasa dekat dengan ayahnya cenderung lebih percaya diri dan mampu mengelola emosi dengan baik.”
Maka, Hari Ayah sejatinya bukan hanya tentang memberi ucapan, tapi tentang hadir sepenuh hati.
Entah dengan pelukan singkat, secangkir kopi bersama, atau sekadar tanya ringan:
“Capek nggak, Yah?”
Kalimat sederhana yang mungkin terdengar remeh, tapi bisa membuat dunia seorang ayah terasa berarti lagi.
Ayah, Ibu, dan Anak: Sebuah Simfoni Kecil di Rumah
Di rumah, sosok ayah sering kali diam, tapi kehadirannya terasa seperti irama dalam lagu keluarga.
Ia mungkin tidak banyak bicara, tapi dari gerak tangannya yang menyiapkan sarapan, atau dari caranya mengganti lampu kamar anak, cinta itu bekerja tanpa suara.
Dalam keluarga yang seimbang, peran ayah dan ibu ibarat dua nada yang saling melengkapi.
Menurut penelitian Harvard Graduate School of Education (2022), anak-anak yang tumbuh dengan figur ayah yang aktif memiliki kemampuan sosial dan akademik yang lebih stabil.
Sementara, dukungan pasangan (ibu) juga memperkuat rasa percaya diri ayah dalam menjalankan perannya — terutama di masa-masa sulit ekonomi dan tekanan pekerjaan.
Karena pada akhirnya, menjadi ayah bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang keberanian untuk terus belajar mencintai dalam diam.
Ketika Ayah Pulang
Banyak ayah kini mulai “pulang” — bukan sekadar pulang ke rumah, tapi pulang ke dirinya sendiri.
Ia belajar menatap anak-anaknya tanpa beban, mendengarkan tanpa menilai, dan memeluk tanpa alasan.
Ada ayah yang dulu terlalu sibuk hingga melewatkan masa kecil anaknya. Kini, ia menebusnya dengan hadir di setiap cerita sekolah, di meja makan, atau di perjalanan sore yang sederhana.
Ada pula ayah yang dulu keras, kini belajar menundukkan ego, dan berkata,
“Maaf ya, Nak. Ayah juga masih belajar.”
Dan sungguh, kalimat itu lebih berarti daripada seribu ucapan selamat di media sosial.
Jadi, apa makna Hari Ayah bagi Anda tahun ini?
Apakah sekadar unggahan di layar, atau awal dari perjalanan baru — perjalanan seorang ayah yang pulang, menemui dirinya sendiri, istrinya, dan anak-anak yang menunggunya dengan cinta?
“Hari Ayah sejatinya bukan tentang dirayakan,
tapi tentang kembali dirasakan.”
(*)



