Suluah.id - Di tengah hiruk pikuk kriteria pasangan zaman sekarang — dari wajah rupawan, dompet tebal, hingga karier stabil — ada dua sifat yang justru dilupakan banyak orang.
Padahal, dua sifat inilah yang diabadikan Allah dalam kisah Nabi Musa ‘alaihissalam: kuat (al-qawiyy) dan amanah (al-amīn).
Kisah ini tertulis dalam Surah Al-Qashash ayat 26, ketika Musa menolong dua wanita di Madyan yang kesulitan memberi minum ternak mereka.
Salah satu wanita itu kemudian berkata kepada ayahnya, yang oleh banyak mufasir disebut sebagai Nabi Syu’aib:
“Wahai ayahku, ambillah dia sebagai pekerja. Sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
(QS. Al-Qashash: 26)
“Wahai ayahku, ambillah dia sebagai pekerja. Sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
(QS. Al-Qashash: 26)
Kalimat singkat tapi sarat makna itu bukan hanya tentang memilih pekerja, melainkan juga panduan ilahi dalam menilai kelayakan seorang laki-laki — termasuk calon suami.
Kuat Bukan Berarti Kasar
Dalam tafsir Ibnu Katsir, “kuat” yang dimaksud bukan semata otot atau tenaga. Kekuatan yang dicari adalah kemampuan menghadapi beban kehidupan: menahan amarah, menjaga prinsip, dan bertanggung jawab atas keluarga.
Di era modern, “kuat” bisa diterjemahkan sebagai ketangguhan emosional dan spiritual.
Sebuah studi dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa pasangan yang memiliki ketahanan mental dan kemampuan mengatur emosi lebih mampu membangun rumah tangga harmonis dan tahan konflik.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, meskipun pada keduanya terdapat kebaikan.”
(HR. Muslim)
Artinya, kekuatan seorang suami bukan diukur dari gengsi atau kekuasaan, tapi dari kemampuannya melindungi, menafkahi, dan membimbing tanpa menyakiti.
Amanah: Pondasi Kepercayaan
Sifat kedua, al-amīn, adalah fondasi semua hubungan — termasuk pernikahan.
Amanah berarti bisa dipercaya, jujur, dan bertanggung jawab.
Bukan hanya dalam hal keuangan, tapi juga keimanan, kesetiaan, dan perasaan.
Rasulullah ﷺ sendiri dikenal sebagai Al-Amīn, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi. Julukan itu lahir dari reputasi beliau yang tak pernah mengkhianati janji, tidak menipu dalam berdagang, dan selalu menepati ucapan.
Dalam rumah tangga, sifat amanah ini menjadi kunci ketenangan istri.
Menurut survei Pew Research Center (2021), faktor “trust” atau kepercayaan menempati posisi tertinggi dalam daftar kunci hubungan yang bahagia, bahkan di atas faktor finansial.
Jadi, seberapa pun tampan atau suksesnya seorang suami, tanpa amanah — rumah tangga akan rapuh seperti bangunan tanpa pondasi.
Pelajaran dari Putri Nabi Syu’aib
Kisah ini juga menyimpan teladan bagi perempuan.
Putri Nabi Syu’aib menilai Musa bukan dari penampilan, tapi dari karakter dan akhlak.
Ia menyampaikan pendapatnya kepada sang ayah dengan cara yang sopan dan penuh adab.
Ini menunjukkan bahwa Islam tidak melarang perempuan berpendapat tentang calon suami, selama dengan cara yang hormat dan bijak.
Al-Qur’an justru mengajarkan keterlibatan perempuan dalam keputusan besar keluarga, termasuk pernikahan.
Refleksi di Zaman Modern
Kita hidup di masa ketika standar kelayakan pasangan seringkali diukur dari hal-hal superfisial.
Ada yang terpesona karena mobil mewah, gaji besar, atau popularitas di media sosial.
Namun, sebagaimana kata ulama kontemporer Syekh Ali Al-Tantawi, “Kehidupan rumah tangga tidak dibangun di atas harta, tapi di atas iman dan amanah.”
Suami bisa saja sederhana, tapi jika kuat menahan godaan dunia dan amanah menjaga keluarga, rumah tangganya akan kokoh menghadapi badai.
Sebaliknya, suami yang kaya namun lemah iman bisa menenggelamkan kapal rumah tangganya sendiri.
Dua Pilar Cinta yang Tahan Uji
Dalam pandangan Islam, suami yang layak bukan hanya yang tampan di wajah, tapi yang kuat dalam iman; bukan hanya yang mapan harta, tapi yang amanah menjaga cinta.
Keduanya — al-qawiyy dan al-amīn — adalah pilar yang membuat cinta bertahan, bahkan ketika dunia berubah arah.
Karena pada akhirnya, bukan status sosial yang membuat rumah tangga bahagia,
tapi iman yang menguatkan dan amanah yang menenangkan.
(*)



