Suluah.id - Ada satu kebiasaan yang halus tapi berbahaya: merasa paling benar dan membawa nama Allah untuk membenarkan diri sendiri. Kita sering mendengar kalimat seperti “ini sudah kehendak Allah,” atau “saya hanya menjalankan perintah-Nya,” padahal bisa jadi itu hanya cara halus untuk menutupi ego dan membungkusnya dengan kalimat suci.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Dalam ceramah-ceramahnya, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha pernah menyinggung hal ini dengan kalimat yang tajam namun sederhana:
“Salah satu kebiasaan buruk manusia ialah suka membawa-bawa nama Allah untuk kepentingan dirinya, seolah-olah apa yang ada di pikirannya selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah.”
Dari Zaman Nabi hingga Media Sosial
Jika menengok sejarah, perilaku semacam ini sudah ada sejak masa Rasulullah ﷺ.Al-Qur’an mencatat, sebagian orang munafik di zaman Nabi menggunakan nama Allah untuk menutupi niat busuk.
Mereka bersumpah demi meyakinkan orang lain, padahal hatinya tak sejalan dengan lisannya. Allah berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,’ padahal mereka itu sebenarnya tidak beriman.”
(QS. Al-Baqarah: 8)
“Dan di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,’ padahal mereka itu sebenarnya tidak beriman.”
(QS. Al-Baqarah: 8)
Kini, fenomena serupa menjelma dalam wajah yang berbeda. Ada yang mengutip ayat untuk membenarkan amarah di media sosial, menjustifikasi keputusan politik, bahkan menuduh orang lain sesat hanya karena beda pandangan.
Menurut Dr. Komaruddin Hidayat, pakar filsafat Islam, fenomena ini disebut “teologi pembenaran diri.” Ia menjelaskan, “Ketika agama hanya dijadikan alat untuk meneguhkan ego, maka Tuhan dijadikan pembenar, bukan pedoman.”
Mengenal Allah, Bukan Mengatasnamakan-Nya
Dalam tradisi tasawuf, mengenal Allah berarti membersihkan hati dari kepentingan diri.
Imam Al-Junaid pernah berkata, “Setiap orang yang berkata ‘Allah’ belum tentu mengenal-Nya, karena mengenal Allah bukan di lisan, tetapi di hati yang tunduk dan jernih.”
Pesan ini terasa relevan di era modern, ketika “berdakwah” bisa dilakukan lewat status atau unggahan, namun niat di baliknya sering kabur antara keikhlasan dan keinginan untuk diakui.
Psikolog agama dari Universitas Indonesia, Dra. Fatmawati, M.Psi, dalam jurnal Psikologi Religi dan Perilaku Sosial (2021), menulis bahwa kecenderungan untuk mengaitkan setiap pendapat pribadi dengan “kehendak Tuhan” sering berakar dari ego spiritual, yaitu keinginan untuk merasa paling benar secara moral dan religius.
Ketika Agama Menjadi Cermin, Bukan Tameng
Rasulullah ﷺ mengingatkan dengan tegas:
“Barang siapa berkata atas nama Allah tanpa ilmu, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Ahmad)
Pesan ini seharusnya membuat kita lebih berhati-hati sebelum mengklaim sesuatu “atas nama Allah.”
Semakin dalam seseorang mengenal Tuhannya, semakin ia rendah hati dalam berbicara tentang kehendak-Nya. Orang yang benar-benar mengenal Allah tidak terburu-buru menghakimi. Ia lebih memilih memperbaiki diri daripada sibuk menilai orang lain.
Sebagaimana diungkapkan oleh Buya Hamka dalam Tasauf Modern, “Kebenaran sejati bukanlah milik mereka yang berteriak paling keras, tapi milik mereka yang paling jujur kepada hatinya.”
Menemukan Ketenangan dalam Kerendahan Hati
Pada akhirnya, hidup beragama bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling tulus mencari kebenaran.
Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya lepas dari ego, tapi kita bisa belajar untuk tidak mengatasnamakan Allah demi kepentingan pribadi.
Biarkan kebenaran berbicara melalui akhlak, bukan kemarahan.
Biarkan nama Allah terucap dengan hormat, bukan dijadikan tameng bagi hawa nafsu.
“Ya Allah, lembutkanlah hati kami agar tidak mudah mengklaim kebenaran. Jadikanlah kami hamba yang rendah hati, yang lebih sibuk memperbaiki diri daripada menilai orang lain. Aamiin.”
(*)



