Iklan

Hidup Tenang dalam Ketidaktenaran

09 November 2025, 06:57 WIB


Suluah.id - Di tengah hiruk pikuk dunia digital hari ini, banyak orang berlomba untuk dikenal. Foto diunggah, cerita dibagikan, bahkan kegiatan sederhana pun sering kali terasa tak lengkap tanpa jejak di media sosial. 

Dalam pusaran sorotan itulah, kata-kata Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin terasa seperti oase di padang kering perhatian.
Ketahuilah, semoga Allah memperbaiki dirimu, bahwa hakikat kehormatan dan kedudukan itu adalah tersebarnya nama dan terkenalnya seseorang. Namun, hal itu tercela. Yang terpuji justru adalah ketenangan dalam ketidaktenaran...”
Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin.

Kata-kata lembut ulama besar abad ke-11 ini seakan menampar kesadaran kita yang sibuk memburu validasi. Di dunia di mana “likes” dianggap sebagai ukuran harga diri, pesan Al-Ghazali menjadi pengingat penting: tidak semua yang terlihat besar di mata manusia, bernilai besar di sisi Tuhan.

Tenang dalam Ketidaktenaran


Menurut psikolog klinis dari Universitas Indonesia, dr. Andri, Sp.KJ, kebutuhan akan pengakuan sosial merupakan naluri manusia, namun bisa menjadi beban jika berlebihan.

“Manusia memang butuh dihargai, tapi kalau pengakuan itu jadi sumber utama kebahagiaan, kita akan kehilangan arah. Rasa tenang justru datang dari keikhlasan,” ujarnya . 

Keikhlasan yang dimaksud Al-Ghazali bukanlah pasrah tanpa tindakan, melainkan bekerja dan berbuat baik tanpa haus tepuk tangan. Inilah yang disebut Rasulullah ﷺ dalam hadis riwayat Muslim:
Sungguh beruntung orang-orang yang asing.”

Ketika para sahabat bertanya siapa mereka, beliau menjawab,
Mereka yang tetap berbuat baik ketika manusia rusak.”

Mereka yang “asing” itu mungkin tidak viral, tidak punya banyak pengikut, namun amalnya harum di langit. Mereka menanam kebaikan diam-diam, tanpa pamrih, tanpa kamera.

Mengukur Ulang Nilai Diri

Dalam survei global Digital 2024 Report dari We Are Social, rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari di media sosial. Angka ini menunjukkan betapa besar ruang perhatian kita tersedot untuk tampil dan dilihat. 

Namun, di sisi lain, fenomena “burnout digital” atau kelelahan sosial media juga meningkat, karena banyak orang merasa harus terus tampak sempurna.

Al-Qur’an mengingatkan dengan begitu lembut:
Dan janganlah engkau berpaling dari orang-orang yang berdoa kepada Tuhannya di pagi dan petang hari, yang mengharap keridaan-Nya.”
(QS. Al-Kahfi: 28)

Ayat ini mengajarkan standar yang sangat berbeda dari dunia modern: kemuliaan tidak diukur dari popularitas, tetapi dari kemurnian niat.

Ketenangan yang Tak Butuh Sorotan


Ustaz Hanan Attaki dalam salah satu tausiyahnya pernah berkata, “Kadang Allah menyembunyikan seseorang di bumi agar ia lebih dikenal di langit.” Pesan ini sejalan dengan spirit yang diajarkan Al-Ghazali — bahwa ketenangan sering kali tumbuh dalam kesunyian, bukan dalam keramaian.

Mereka yang tenang dalam ketidaktenaran bukan berarti lemah atau pasif. Justru merekalah yang bekerja dengan tulus, membantu tanpa pamrih, berdoa tanpa berharap dilihat. Dalam diam mereka, ada kekuatan yang menumbuhkan kesejukan batin.

Menutup dengan Renungan


Ketenaran bisa datang dan pergi, pujian bisa berubah menjadi cibiran, tetapi amal yang tersembunyi akan tetap hidup — bahkan setelah pelakunya tiada.

Barangkali, menjadi “tidak terkenal” justru anugerah yang menyelamatkan jiwa. Karena dalam diam itulah hati bisa benar-benar berbicara kepada Tuhannya, tanpa gangguan tepuk tangan dunia.

Jadi, jika hari ini langkahmu tidak disorot, dan kebaikanmu tak terlihat siapa pun, jangan kecil hati. Mungkin, namamu sedang harum di langit.(*) 
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Hidup Tenang dalam Ketidaktenaran

Iklan