Iklan

Dunia di Balik Topeng: Ketika Kepura-puraan Jadi Kebiasaan

10 November 2025, 10:47 WIB


Suluah.id - Di sebuah sore di Mekkah, menjelang azan Maghrib, seorang remaja bersorban merah dan berjubah putih tampak menggigil di dalam Masjid Bin Ubaid, kawasan Syisah. Tubuhnya bergetar hebat, suaranya lirih memelas. Para jamaah sempat tertegun. Beberapa terlihat iba. Ia tampak seperti orang kesurupan, atau mungkin sakit berat.

Namun, begitu salat usai dan azan Isya hampir tiba, imam masjid, Syaikh Ahmad Az-Zahrani, meminta seorang takmir mengikuti remaja itu diam-diam. Dan ternyata, hanya beberapa ratus meter dari masjid, semua “gejala” itu lenyap. Sang remaja berjalan tegap, duduk santai di tepi jalan besar, lalu pergi entah ke mana. Normal. Tanpa getar. Tanpa isak. Tanpa luka.

“Dunia memang tak kekurangan orang pandai berpura-pura,” ujar Syaikh Ahmad singkat, dikutip dari akun resmi masjidnya.

Pura-pura: Bahasa Universal di Era Modern


Fenomena seperti ini, sejatinya bukan hal baru. Dari zaman dahulu, manusia selalu bermain dengan wajah ganda. Dalam bahasa psikologi sosial, ini disebut impression management — upaya mengendalikan bagaimana orang lain memandang diri kita.

“Setiap orang punya ‘topeng sosial’. Itu bukan selalu buruk, tapi kadang berkembang jadi perilaku manipulatif,” jelas Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, pakar psikologi sosial Universitas Indonesia, dalam salah satu tulisannya.

Di era media sosial, “pura-pura” bahkan naik kelas menjadi trend budaya. Orang bisa tampak bahagia dalam unggahan, padahal sedang dirundung masalah. Bisa tampak sukses, padahal berutang di mana-mana. Bisa tampak alim, padahal hanya meniru penampilan. Dunia digital memberi ruang luas bagi topeng-topeng baru.

Menurut riset Frontiers in Psychology (2023), 63% pengguna media sosial mengaku pernah menampilkan versi “lebih baik” dari diri mereka secara sengaja. Sebagian besar alasannya: ingin diterima, dihormati, atau dianggap sukses.

Ketika Pura-pura Jadi Gaya Hidup


“Pura-pura” kini tak lagi sekadar dusta kecil. Ia berubah menjadi budaya sosial: berpura-pura bahagia agar tak terlihat lemah, berpura-pura kuat agar tak dikasihani, berpura-pura beriman agar dianggap saleh.

Bahkan di dunia keagamaan, kepura-puraan bisa berwujud lebih halus. Gelar dan jubah menjadi simbol prestise. Ucapan penuh istilah Arab dilafalkan, meski tajwidnya berantakan. “Fenomena religious impostor ini berbahaya,” kata KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha’) dalam salah satu pengajian daringnya. “Karena agama itu bukan tentang gaya, tapi tentang niat.”

Rasulullah ﷺ telah mengingatkan dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim:
“Orang yang berlagak memiliki sesuatu padahal tidak, ibarat memakai dua lapis pakaian dusta.
Pesan ini tetap relevan di abad digital — ketika identitas mudah dikonstruksi, dan kejujuran sering dikorbankan demi validasi.

Menilai dari yang Zahir


Para ulama juga sepakat bahwa manusia hanya bisa menilai dari apa yang tampak. Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menulis:
“Hukum-hukum dunia diberlakukan berdasarkan yang zahir. Adapun yang tersembunyi, biarlah Allah yang menilai.”

Artinya, kita memang tak bisa membaca hati orang. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata dari apa yang jelas terlihat. Bila seseorang tampak malas, ya tentu dinilai malas. Bila pelit, ya begitu pula kesannya. Dunia berjalan di atas persepsi.

Kita Semua Pernah Memakai Topeng


Kenyataannya, kita semua pernah — sadar atau tidak — menjadi bagian dari kepura-puraan itu.
Kita tersenyum saat hati remuk. Kita berkata “tidak apa-apa” meski dada terasa sesak. Kita menunduk sopan di hadapan orang yang diam-diam tak kita sukai.

Tidak semua kepura-puraan buruk. Ada yang lahir dari sopan santun, dari keinginan menjaga perasaan. Tapi saat pura-pura berubah jadi kebiasaan, ia bisa melahirkan kebohongan yang menyesatkan.

“Kejujuran adalah bentuk keberanian tertinggi,” tulis Brené Brown, peneliti tentang kerentanan manusia dari University of Houston. “Karena untuk jujur, seseorang harus rela terlihat lemah — dan itu menakutkan bagi banyak orang.”

Belajar Menjadi Tulus


Barangkali, pelajaran dari remaja yang berpura-pura kesurupan di Mekkah itu bukan sekadar kisah aneh. Ia cermin kecil dari dunia kita yang sering mengenakan topeng.

Kita hidup di zaman yang menuntut penampilan. Tapi di balik itu, Tuhan hanya menilai hati.
Seperti kata pepatah Arab:
“Manusia melihat wajahmu, tapi Allah melihat hatimu.”

Dan mungkin, di situlah tantangan terbesar manusia modern — untuk kembali sederhana, jujur, dan apa adanya, di tengah dunia yang semakin pandai berpura-pura.
(*)
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Dunia di Balik Topeng: Ketika Kepura-puraan Jadi Kebiasaan

Iklan