Iklan

Haji: Perjalanan Spiritual Menuju Titik Nol Kehidupan

07 November 2025, 07:52 WIB


Suluah.id - Setiap tahun, jutaan umat Muslim dari seluruh penjuru dunia berbondong-bondong menuju Tanah Suci. Mereka datang dari kota besar yang hiruk pikuk, hingga desa terpencil yang jauh dari sorotan. 

Semuanya memiliki satu tujuan yang sama: memenuhi panggilan suci dari Sang Pencipta — “Labbaik Allahumma Labbaik”, aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah.

Haji bukan sekadar ritual keagamaan. Ia adalah perjalanan batin, sebuah transformasi spiritual yang mengajak manusia menanggalkan identitas duniawi dan kembali pada titik nol: fitrah sebagai hamba. 

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj ayat 27:
Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai unta yang kurus, dari segenap penjuru yang jauh.”

Sebuah Panggilan Abadi


Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW pernah menceritakan bahwa para nabi terdahulu pun telah menunaikan ibadah ini. Nabi Yunus dan Nabi Musa disebut pernah bertalbiyah di tanah suci. 

Ini menunjukkan bahwa haji bukan hanya kewajiban umat Islam modern, tetapi tradisi spiritual lintas zaman, sebuah ritual yang diwariskan dari para nabi.

“Haji adalah perjalanan pulang ke rumah Tuhan,” tulis Dr. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah. “Di sanalah manusia menanggalkan segala yang fana, untuk mengenal siapa dirinya dan kepada siapa ia akan kembali.”

Ihram: Menanggalkan Segalanya


Dua helai kain putih sederhana yang disebut ihram bukan sekadar busana. Ia adalah simbol pelepasan ego, status, dan kesombongan. Saat mengenakan ihram, seorang raja dan rakyat jelata berdiri sejajar. Tidak ada gelar, tidak ada pangkat, tidak ada kekayaan — hanya hamba di hadapan Tuhannya.

Ritual ini sejatinya adalah latihan melepaskan diri dari segala hal yang membuat kita lupa diri. 

“Dalam ihram, kita belajar menjadi manusia apa adanya,” kata KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sebuah ceramahnya. “Karena kelak, kita juga akan pulang hanya dengan kain putih yang sama.”

Thawaf: Menemukan Poros Kehidupan


Mengitari Ka’bah tujuh kali, berputar melawan arah jarum jam — inilah thawaf. Gerakan ini sederhana, tapi maknanya dalam. Ka’bah menjadi pusat orbit kehidupan, simbol bahwa Allah adalah poros tunggal yang mengatur semesta.

Manusia, dalam kehidupan modernnya, sering berputar mengelilingi poros lain: karier, harta, popularitas, atau kekuasaan. Thawaf mengingatkan: hanya satu pusat sejati yang tak boleh digeser — Allah semata. Seperti bumi yang terus berputar mengelilingi matahari, hidup pun baru bermakna jika berporos pada cahaya yang benar.

Sa’i: Keteguhan Seorang Ibu


Dari semua ritual haji, sa’i mungkin yang paling menyentuh hati. Saat jamaah berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah, sejatinya mereka sedang menapaki jejak Siti Hajar — seorang ibu yang berlari mencari air untuk bayinya, Ismail, di tengah padang tandus.

Tak ada kepastian di hadapannya, hanya harapan dan doa. Namun, justru di tengah keterbatasan itulah air zamzam memancar, menjadi sumber kehidupan hingga kini.

“Sa’i adalah simbol kerja keras dan keyakinan,” ujar Prof. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal. “Ia mengajarkan bahwa mukjizat sering kali lahir dari langkah-langkah sederhana, asal dilakukan dengan iman dan ketulusan.”

Wukuf di Arafah: Saat Langit Membuka Diri


9 Dzulhijjah, Padang Arafah menjadi lautan putih. Di bawah terik matahari, jutaan manusia berdiri menengadah, menangis, memohon ampunan. Inilah puncak hajiwukuf di Arafah — di mana setiap doa terasa begitu dekat dengan langit.

Rasulullah SAW bersabda:
Tidak ada hari di mana Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka daripada hari Arafah.” (HR. Muslim)

Bagi banyak jamaah, momen di Arafah menjadi titik balik hidup. Di sanalah mereka benar-benar merasa kecil, fana, dan sepenuhnya bergantung pada kasih Tuhan. 

Beberapa psikolog bahkan menyebut momen wukuf sebagai “spiritual reset”, semacam pembersihan batin yang membawa efek psikologis luar biasa: tenang, pasrah, dan bahagia.

Menuju Haji Mabrur


Setiap jamaah tentu mendambakan haji mabrur — haji yang diterima Allah dan mengubah diri menjadi lebih baik. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada balasan bagi haji mabrur selain surga.” (HR. Bukhari-Muslim).

Namun, untuk sampai ke sana, tidak cukup hanya dengan fisik dan biaya. Bekal utama adalah takwa. Allah berfirman:
“Berbekallah kamu, dan sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Itulah mengapa persiapan haji seharusnya dimulai jauh sebelum keberangkatan. Bukan hanya menyiapkan paspor dan koper, tapi juga membersihkan hati, meluruskan niat, dan memahami makna setiap rukun

Sejumlah lembaga seperti Kementerian Agama RI bahkan kini mewajibkan manasik haji yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga spiritual, untuk memastikan jamaah memahami hakikat perjalanan suci ini.

Lebih dari Sekadar Ibadah


Haji mengajarkan kesetaraan, kesabaran, dan ketulusan. Ia menuntun manusia menapak kembali pada esensi hidup: bahwa semua akan berakhir, dan yang tersisa hanyalah amal baik.

Dalam buku Haji Mabrur: Jalan Menuju Cinta Ilahi, penulis spiritualis Alwi Shihab menulis, “Mereka yang pulang dari haji sejatinya bukan sekadar membawa gelar ‘haji’, tetapi membawa wajah baru — lebih lembut, lebih jernih, dan lebih manusiawi.”

Haji adalah panggilan, bukan sekadar undangan. Dan panggilan itu hanya didengar oleh hati yang siap. Maka, bagi yang belum berangkat, bersiaplah. 

Karena sesungguhnya, niat yang tulus sudah dicatat di langit, dan Allah akan memanggil siapa saja yang Ia kehendaki pada waktu terbaiknya.
(*)
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Haji: Perjalanan Spiritual Menuju Titik Nol Kehidupan

Iklan