suluah.id - Hati manusia, kata para sufi, ibarat taman kecil. Ia bisa tumbuh subur bila disiram dengan zikir dan kebaikan. Namun, seperti taman yang tak pernah disiram, hati juga bisa layu—terlupakan, kering, bahkan mati rasa.
Yang membuatnya pelan-pelan kehilangan kehidupan sering kali bukan hal besar. Justru dua racun halus inilah yang paling berbahaya: cinta dunia yang berlebihan dan pergaulan yang buruk.
Cinta Dunia: Ketika Dunia Masuk Terlalu Dalam ke Hati
Siapa yang tak ingin hidup nyaman? Gaji stabil, rumah bagus, liburan setahun sekali—semua itu sah-sah saja. Namun, bahaya muncul saat dunia bukan lagi alat, tapi tujuan.
“Cinta dunia yang berlebihan itu bukan sekadar keinginan memiliki sesuatu, tapi ketika hati mulai tergantung pada hal itu,” jelas Ustaz Abdul Somad dalam salah satu kajiannya.
“Kita merasa hampa tanpa dunia, padahal dunia hanyalah titipan.”
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi disebutkan,
“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan.” (HR. Al-Baihaqi)
Penelitian modern ternyata sejalan dengan hal ini.
Menurut Journal of Positive Psychology (2021), individu yang terlalu fokus pada pencapaian materi cenderung memiliki tingkat stres dan kecemasan lebih tinggi dibanding mereka yang hidup dengan orientasi makna dan spiritualitas.
Artinya, “cinta dunia” bukan hanya persoalan iman—tapi juga kesehatan mental.
Psikolog klinis, Dr. Andini Pramudita, menjelaskan bahwa hati yang terlalu melekat pada pencapaian duniawi mudah sekali cemas dan kecewa.
“Kalau semua nilai diri kita diukur dari harta, karier, atau pujian orang, maka hati tak pernah tenang. Karena standar itu tak pernah tetap,” ujarnya.
Pergaulan Buruk: Cermin yang Memburamkan Cahaya
Racun kedua datang dari lingkungan: sahabat yang salah.
Kita adalah cerminan dari lingkar pertemanan kita. Tanpa disadari, cara berpikir, bahkan nilai-nilai moral seseorang, sering terbentuk dari siapa yang paling sering ia temui.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Seseorang tergantung pada agama temannya. Maka hendaklah kalian memperhatikan siapa yang menjadi sahabatnya.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad)
Dalam konteks kekinian, nasihat ini terasa relevan sekali.
Sebuah riset dari Harvard Study of Adult Development, studi terpanjang tentang kebahagiaan manusia, menunjukkan bahwa kualitas hubungan sosial menentukan kebahagiaan dan kesehatan seseorang lebih dari faktor finansial atau status sosial.
Artinya, teman yang baik bukan sekadar yang asyik diajak nongkrong, tapi yang membuat kita tumbuh.
Teman sejati bukan yang menertawakan kesalahan kita, melainkan yang menuntun kita agar lebih baik. Seorang ulama pernah berkata, “Teman yang buruk bisa menenggelamkanmu tanpa kamu sadar sedang hanyut.”
Menyembuhkan Hati: Kembali ke Kesederhanaan dan Lingkaran yang Baik
Dua racun hati ini, meski tampak sepele, bisa membuat manusia kehilangan arah. Namun kabar baiknya, hati selalu bisa disembuhkan.
Mulailah dengan أنس الطاعة (kenikmatan dalam ketaatan)—menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil: doa pagi, membaca Al-Qur’an, atau membantu orang lain tanpa pamrih.
Lalu rawat pula أنس الصحبة (kehangatan dalam persahabatan baik)—berteman dengan orang-orang yang membuatmu lebih tenang dan lebih dekat pada Allah.
Karena hati yang hidup bukan hanya yang berdebar karena cinta, tapi yang bergetar karena ingat pada Penciptanya.
Dan persahabatan yang indah bukan hanya yang membuatmu tertawa di dunia, tapi yang kelak menuntunmu tertawa bersama di surga.(*)