Suluah.id - Pernah nggak sih, sampai di titik di mana semua terasa berat? Kepala penuh, hati sesak, badan capek, tapi tetap harus jalan terus. Di situ kadang kita cuma bisa diam. Bukan karena nggak mau bicara, tapi karena sudah nggak tahu lagi harus mulai dari mana.
Dan di tengah kelelahan itu, ada kalimat sederhana yang sering mampir di beranda media sosial, tapi rasanya menembus hati:
“Jika kepedihan dunia sudah sangat melelahkanmu, maka janganlah bersedih. Mungkin Allah sedang rindu mendengar suaramu.”
Kalimat ini sederhana, tapi hangat—seperti teh manis di malam yang dingin. Menyadarkan kita bahwa mungkin, kelelahan ini bukan tanda kita ditinggalkan, tapi tanda kita sedang dipanggil untuk pulang.
Lelah yang Mengundang Doa
Dalam psikologi modern, rasa lelah yang disertai kesedihan disebut sebagai “spiritual fatigue” — kelelahan batin yang muncul karena kita terlalu lama berlari tanpa henti, tanpa sempat mengisi ulang energi rohani.
Menurut penelitian dari Pew Research Center (2021), orang yang memiliki rutinitas spiritual seperti berdoa atau bermeditasi, terbukti memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan kemampuan lebih baik dalam mengelola emosi.
Artinya, ketika kita berhenti sejenak untuk berbicara dengan Tuhan, itu bukan tanda menyerah — tapi justru tanda bahwa kita sadar: kita manusia, dan kita butuh Dia.
Pelajaran dari Nabi Ayyub: Iman di Tengah Derita
Kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalam adalah salah satu contoh paling indah tentang keteguhan hati. Segala yang beliau miliki hilang: harta, keluarga, kesehatan.
Namun beliau tetap berkata lembut dalam doanya:
“Ya Tuhanku, aku ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)
“Ya Tuhanku, aku ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Kalimat itu bukan sekadar doa, tapi ekspresi cinta yang luar biasa. Di tengah luka dan kehilangan, beliau masih bisa memuji Tuhan. Itulah puncak keimanan: ketika kita tetap percaya bahkan saat hidup terasa runtuh.
Psikolog klinis, Dr. Lisa Miller dalam bukunya The Spiritual Child (2015), menulis bahwa rasa keterhubungan dengan Tuhan memberi ketahanan psikologis luar biasa. Orang yang punya hubungan spiritual yang kuat cenderung lebih tenang menghadapi stres dan penderitaan.
Allah Tidak Pernah Jauh
Sering kali kita merasa, “Kenapa hidup berat banget? Apa Allah nggak sayang?” Padahal, bisa jadi justru karena sayang itulah kita diuji.
Ulama besar Ibn Qayyim al-Jauziyah pernah menulis, “Allah tidak pernah menimpakan ujian kecuali karena Ia ingin mendengar rintihan doa dari hamba yang jarang berdoa.”
Lihat? Kadang lelah itu bukan kutukan, tapi undangan. Undangan lembut agar kita berhenti sejenak, berbicara dengan jujur kepada Sang Pencipta. Karena ketika semua orang nggak paham, hanya Allah yang tetap paham.
Dan di saat semua menjauh, justru Dia yang paling dekat.
Tangisan yang Paling Jujur
Ada saatnya air mata menjadi bahasa yang paling fasih. Kita nggak perlu kata-kata indah. Cukup lirih berkata, “Ya Allah, aku kembali.”
Tangisan itu bukan kelemahan. Itu bentuk rindu yang paling murni.
Psikoterapis Muslim, Dr. Rania Awaad dari Stanford University, menyebutkan bahwa doa dan tangisan dalam ibadah bukan sekadar ekspresi emosional, tapi juga proses penyembuhan diri. Ia membantu menurunkan kadar hormon stres dan membangkitkan rasa tenang.
Jadi, kalau kamu sedang berada di fase lelah, jangan buru-buru merasa jauh dari Allah. Justru di titik itulah, Dia paling dekat. Karena lelahmu bisa jadi adalah doa yang belum sempat terucap, dan tangismu adalah bentuk rindu yang belum tersampaikan.
Menemukan Kembali Tenang
Tenangkan dirimu. Tarik napas pelan. Jangan takut untuk jujur pada diri sendiri dan pada Tuhanmu. Katakan saja:
“Ya Allah, aku kembali.”
Dan percayalah, Allah selalu punya cara yang lembut untuk menjawab setiap panggilan dari hati yang tulus. Mungkin lewat orang yang datang tanpa disangka, mungkin lewat kejadian kecil yang menguatkan, atau mungkin lewat rasa damai yang tiba-tiba hadir tanpa sebab.
Karena sejatinya, setiap kelelahan bukan akhir dari segalanya — tapi awal dari pertemuan yang lebih indah: antara hamba yang rapuh dengan Tuhannya yang Maha Penyayang.(*)