suluah.id - Ada satu musuh besar yang sering kali tak kasat mata: ia bersemayam di hati, tumbuh kecil, lalu menyala menjadi api yang membakar dari dalam.
Namanya iri, kecewa, sombong, dan khawatir. Kita semua pernah mengalaminya—mulai dari merasa kurang dibanding teman, kecewa karena gagal mencapai target, hingga khawatir berlebihan tentang masa depan.
Psikolog menyebutnya toxic emotions—emosi negatif yang jika dipelihara akan menggerogoti kesehatan mental.
Penelitian Harvard Medical School (2019) menemukan bahwa kecemasan kronis dapat meningkatkan risiko gangguan jantung dan depresi. Sementara penelitian lain di Journal of Personality and Social Psychology menunjukkan bahwa rasa iri yang tak terkendali bisa menurunkan kepuasan hidup secara signifikan.
Namun, jauh sebelum psikologi modern menuliskannya di jurnal, para sufi sudah lama memberi resep penyembuhan: ridha, syukur, sabar, dan tawakal.
Kisah Sufi dan Api dalam Hati
Alkisah, seorang murid mendatangi Ibrahim bin Adham, seorang sufi besar dari abad ke-8. Murid itu mengeluh:
"Guru, aku selalu gelisah. Kadang iri dengan nikmat orang lain, kadang kecewa dengan nasibku, kadang khawatir akan masa depanku."
Ibrahim tersenyum dan menjawab:
"Engkau telah membawa api yang membakar hatimu sendiri. Padamkanlah dengan ridha kepada Allah. Jika engkau iri, ingatlah bahwa Allah-lah yang membagi rezeki. Jika engkau sombong, sadarilah engkau berasal dari tanah. Jika engkau kecewa, percayalah setiap takdir ada hikmahnya. Jika engkau khawatir, yakinlah masa depanmu ada dalam genggaman-Nya."
Sejak itu, sang murid belajar menukar api dalam hatinya dengan cahaya syukur dan keteduhan sabar. Hidupnya pun menjadi lebih damai.
Relevan di Masa Kini
Nasihat klasik ini ternyata masih sangat relevan. Data Survei Indeks Kebahagiaan Indonesia 2021 (BPS) menunjukkan bahwa banyak faktor yang menurunkan kebahagiaan masyarakat berasal dari tekanan hidup: finansial, pekerjaan, hingga relasi sosial.
Dalam kondisi seperti ini, sikap ridha dan tawakal bukan hanya soal spiritualitas, tapi juga strategi mental untuk bertahan.
Menurut psikolog klinis Ratih Ibrahim, kemampuan menerima keadaan (acceptance) adalah kunci kesehatan mental. “Orang yang mampu menerima hidup apa adanya akan lebih resilien menghadapi tekanan, dibanding mereka yang terus melawan keadaan tanpa henti,” ujarnya.
Dari Umar bin Khattab hingga Psikologi Modern
Bahkan, sejarah mencatat teladan dari Umar bin Khattab ketika masa paceklik melanda Madinah. Beliau menolak makan makanan enak, memilih merasakan penderitaan rakyatnya, sembari berkata:
"Jika bukan karena aku ridha dengan takdir Allah, niscaya aku akan menjadi orang paling sengsara di muka bumi."
Pesan Umar sejalan dengan teori modern tentang empathy leadership—pemimpin yang ikut merasakan kesulitan rakyatnya akan lebih dipercaya dan dihormati.
Menemukan Embun Penyejuk
Jika iri adalah api, sombong adalah bara, kecewa adalah kabut, dan khawatir adalah angin panas, maka ridha, syukur, sabar, dan tawakal adalah embun yang menyejukkan.
Alquran menegaskan:
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.” (QS. At-Ṭalāq: 3)
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.” (QS. At-Ṭalāq: 3)
Dan Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang ridha, maka ia akan mendapatkan keridhaan Allah. Barangsiapa yang murka, maka ia akan mendapat kemurkaan Allah.” (HR. Tirmidzi)
Bahkan psikologi positif pun sejalan dengan ajaran ini: gratitude (syukur) terbukti meningkatkan hormon dopamin dan serotonin, yang membuat manusia lebih bahagia.
Hidup Bukan Tentang Genggaman, Tapi Sandaran
Pada akhirnya, hidup bukan sekadar soal apa yang kita genggam. Cepat atau lambat, semua bisa lepas. Yang menentukan adalah kepada siapa kita bersandar.
Bersandarlah kepada Allah, dan kita akan menemukan keteduhan yang tidak bisa ditawarkan dunia mana pun.
Karena badai boleh saja menderu, tetapi jiwa yang ridha, sabar, dan tawakal akan selalu menemukan jalannya pulang: ke damai.(*)