suluah.id - Di era ketika setiap notifikasi bisa mengubah suasana hati, manusia semakin sibuk menata citra daripada menata jiwa.
Kita belajar menampilkan versi terbaik di media sosial, memperhalus cara bicara, memoles wajah agar tampak sempurna di depan kamera — tapi sering lupa, ada ruang yang lebih penting untuk dirapikan: hati di hadapan Tuhan.
Padahal, kata para ulama, relasi terdalam manusia bukanlah dengan sesama yang sama-sama fana, melainkan dengan Sang Pencipta yang kekal.
Dan ketika hubungan itu lurus, hidup pun terasa lebih seimbang.
Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani:
“Barang siapa memperbaiki hubungan antara dirinya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungan antara dirinya dengan manusia.”
Pesan ini sederhana tapi dalam. Ia mengingatkan bahwa sumber keharmonisan hidup tidak terletak pada seberapa banyak orang menyukai kita, melainkan pada seberapa dekat hati kita dengan Tuhan.
Ketika relasi spiritual itu kuat, energi kebaikan akan terpancar dan menarik hati manusia untuk menghormati, bukan karena pencitraan, tapi karena keikhlasan.
Sibuk Menyenangkan Dunia, Lupa Menenangkan Diri
Kita hidup di zaman yang menuntut semua orang untuk terlihat “baik-baik saja”. Dari status WhatsApp hingga unggahan Instagram, seolah ada kewajiban untuk tampil bahagia, sukses, dan diterima. Tapi sesungguhnya, banyak dari kita sedang kelelahan.
Bukan karena kurang cinta dari orang lain, tapi karena kehilangan koneksi dengan diri sendiri — dan dengan Allah.
Hadis riwayat al-Baihaqi kembali menegaskan hal ini:
“Kamu tidak akan mampu membuat senang semua orang. Maka perbaikilah hubunganmu dengan Allah. Jika hubunganmu dengan Allah baik, maka kamu tak perlu peduli dengan pandangan manusia.”
Pesan itu relevan sekali di masa kini, di tengah tekanan sosial yang membuat banyak orang merasa harus selalu tampil sempurna.
Psikolog modern bahkan menyebut fenomena ini sebagai “people pleasing syndrome” — kebiasaan berlebihan untuk menyenangkan semua orang demi penerimaan sosial. Akibatnya, seseorang kehilangan identitas dan ketenangan batin.
Menurut penelitian dari University of California, Berkeley, tekanan sosial yang tinggi dan keinginan untuk selalu disukai bisa memicu stres kronis serta gangguan kecemasan.
Artinya, apa yang sejak dulu diajarkan Islam — tentang menata relasi dengan Allah lebih dulu — bukan sekadar nasihat spiritual, tapi juga resep kesehatan mental yang terbukti ilmiah.
Takwa: Kompas Hidup yang Tak Pernah Salah Arah
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberi janji yang menenangkan:
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. Ath-Thalaq: 2–3)
Ayat ini mengandung makna bahwa takwa bukan sekadar rasa takut, tetapi bentuk kesadaran penuh — mindfulness spiritual — untuk selalu melibatkan Allah dalam setiap keputusan hidup. Ketika koneksi itu terjaga, seseorang tidak mudah goyah meski dunia seolah berputar tak menentu.
Ulama besar Ibn ‘Athaillah as-Sakandari bahkan menulis dalam al-Hikam:
“Siapa yang sibuk dengan Allah, maka Allah akan menyibukkan makhluk untuknya.”
Artinya, ketika kita fokus memperbaiki hubungan dengan Tuhan, semesta akan menata ulang caranya memperlakukan kita.
Orang yang tulus, meski tanpa pencitraan, akan tetap dihormati. Sebaliknya, mereka yang sibuk memburu validasi, justru sering merasa hampa meski mendapat banyak tepuk tangan.
Berhenti Mengejar Bayangan, Mulailah Menyapa Cahaya
Pada akhirnya, hidup ini seperti berjalan di bawah cahaya matahari. Jika kita mengejar bayangan, kita tak akan pernah sampai. Tapi jika kita berjalan menuju cahaya, bayangan akan mengikuti tanpa diminta.
Hidup yang damai bukan berarti bebas dari penilaian orang lain, tapi ketika hati sudah berdamai dengan Sang Penilai Tertinggi. Ketika Allah ridha, maka komentar manusia hanyalah riak kecil di permukaan laut kehidupan.
Dan di penghujung perjalanan, mungkin doa sederhana ini layak kita bisikkan setiap kali hati terasa penat:
“Ya Allah, jadikanlah hati kami jernih dari riya dan tamak, dan lembutkan jiwa kami dari kesombongan. Tuntunlah kami di jalan-Mu yang lurus, agar kami hanya mencari cinta dan ridha-Mu, bukan tepuk tangan manusia.”
Sebab pada akhirnya, keikhlasan adalah pencitraan terbaik, dan ketenangan adalah prestasi sejati yang tak bisa dipamerkan di layar mana pun — selain di layar hati.(*)