Iklan

Mengenal Sirih Carano, Sebuah Tradisi Persembahan Penuh Filosofi di Minangkabau

Admin
06 Januari 2022, 15:39 WIB


Suluah.id -- Carano adalah benda sakral berbentuk dulang berkaki dari kuningan. Di dalamnya berisi daun sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Carano menjadi simbol yang sarat makna untuk diberikan kepada calon marapulai sebagai syarat meminang di Minangkabau.

Sirih dalam carano, begitulah persembahan masyarakat Minangkabau kepada tamu dalam kegiatan atau upacara adat mereka. Ia disuguhkan pada awal pertemuan sebagai bentuk penghormatan dari tuan rumah.

Tradisi ini masih dijalankan hingga sekarang. Meski terus menyusut masyarakat yang menerapkannya. Namun, kini oleh sebagian orang minang, tidak lagi dianggap penting dalam prosesi lamaran. Telah terjadi pergeseran budaya seiring perubahan zaman, terutama bagi generasi yang lebih muda. Ada filosofi tentang keramahtamahan orang Minang di dalamnya.

Carano adalah wadah berupa dulang berkaki yang terbuat dari loyang atau logam kuningan. Bentuk dulangnya bundar dengan pundak landai, mulut lebar, dan bibir tipis. Tangkainya mengecil pada bagian tengah dan melebar pada bagian bawah berhiaskan garis lingkaran berbentuk geligir.


Carano wajib ada dalam kegiatan atau upacara adat di Minangkabau, seperti upacara pinang-meminang, pernikahan, dan malewakan gala.


Pasalnya, bagi masyarakat Minangkabau, tamu yang datang dalam suatu kegiatan atau upacara adat tidak hanya disambut dengan senyum sapa yang ramah. Ada suatu persembahan yang sudah menjadi budaya, yakni sirih.

Dalam hal ini, carano berfungsi sebagai wadah untuk membawa persembahan tersebut. Isian carano sebenarnya tidak hanya berisi sirih semata. Ada kelengkapan lainnya yang disebut siriah langkok.

Sjafnir Abu Naim dalam Siriah Pinang Adat Minangkabau menguraikan, sirih langkok terdiri dari daun-daun sirih disusun melingkar dilengkapi dengan bahan untuk memakan sirih, di antaranya berupa buah pinang, gambir, dan kapur sirih (sadah).


Ia menjelaskan, ada empat unsur di dalam carano siriah langkok yaitu, daun sirih warnanya hijau rasanya pedas, buah pinang warnanya kuning rasanya kelat/sepat, gambir warnanya cokelat rasanya pahit, dan sadah warnanya putih rasanya asin.


Sirih melambangkan kesederhanaan, karena siapapun yang disambut dan menyambut, tetap saja menggunakan sirih, dan tidak ada dengan yang lainnya. Persembahan sirih dalam carano merepresentasikan penyatuan tamu dengan tuan rumah.


Isian carano ditutup dengan kain berhias yang disebut dulamakDulamak biasanya bercorak warna merah, kuning, dan hitam dengan motif pucuk rebung, yakni bambu muda yang baru keluar dari rumpunnya. Kain ini membuat kesan megah karena dihiasi kilapan benang emas dan cermin-cermin kecil. 


Ketika mempersembahkan sirih dalam carano, biasanya disertai pantun. “Jika sirih sudah dimakan, yang manis melekat di ujung lidah, yang pahit lolos ke kerongkongan,” begitu salah satu bunyi pantun tersebut.


Saat pinang-meminang, sirih dalam carano menyiratkan pesan kaum keluarga anak daro (pengantin wanita) kepada kaum keluarga marapulai (pengantin pria). Pesan itu intinya, semua yang terbaik dimiliki pihak keluarga anak daro, dipersembahkan kepada pihak keluarga marapulai.


Selain dalam pernikahan, carano disuguhkan saat memulai pembicaraan atau perundingan tamu. Hantaran ini menyiraktkan penghormatan dari tuan rumah kepada tamu yang datang.


Di dalam rasa sirih yang pahit dan manis, ada simbol. Daun sirih bila dikunyah akan menimbulkan dua rasa di lidah, pahit dan manis. Dengan menyuguhkan sirih pada awal pertemuan, maka diharapkan segala sesuatu yang janggal tidak akan menjadi gunjingan.


Tradisi menghidangkan sirih dalam carano masih bertahan hingga saat ini dan menjadi lazim kita temui pada kegiatan seremonial yang ada di Sumatra Barat. Sirih dalam carano disuguhkan kepada tamu terhormat yang datang.


Carano adalah sebuah alat untuk  tempat meletakan sirih, pinang, gambir, kapur, dan tembakau. Semuanya diletakan di dalam carano yang biasanya di tepinya dilingkari oleh arai (arai merupakan putik pinang seperti untaian padi bewarna putih kekuningan). Biasanya carano terbuat dari loyang (logam kuningan) yang berbentuk cembung yang memiliki tangkai. 


Carano biasanya memiliki tadah atau alas dari pinggan atau piring dibawah carano dan memiliki tutup yang benama alas delamak.

Abu Naim (2006) mengatakan bahwa biasanya carano diisi dengan sirih pinang lengkap yang di susun ( bulat atau  yang telah dicincang, gambir, kapur sirih, dan rokok, atau tembakau dan daun), sebagai memilki arti tando baadat bapusako.

Pada umumnya carano digunakan sebagai alat pada upacara adat seperti upacara pinang meminang, pernikahan, malewakan gala atau batagak gadang dan upacara adat lainya. Carano juga digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan keributan seperti di rumah tangga atau di gelanggang pencak silat. Sebelum memulai pembicaraan atau perundingan tamu yang datang disuguhi sirih pinang dalam carano.

Carano sebagai alat yang penting bahkan sangat penting dalam upacara adat di masyarakat minangkabau. Biasanya kalau ingin berunding khususnya di hadapan angku niniak mamak, haruslah memakai carano dengan isi selengkapnya kalau tidak ada atau isianya tidak lengkap maka akan didawa atau didenda. Pada umumnya carano merupakan penghormatan dari pangka (tuan rumah) kepada tamu yang datang.

Namun, tradisi ini tak luput dari perubahan. Ada yang menjalankannya dengan cara praktis. Misalnya, menggunakan rokok sebagai pengganti sirih. Hal ini biasanya kita temukan pada masyarakat Minangkabau di perkotaan. Padahal, makna dari memberikan sirih tidak sama dengan memberikan rokok.

Terlepas dari hal tersebut, sirih dalam carano sudah menjelma menjadi simbol penyambutan tamu oleh masyarakat Minangkabau. Simbolisasi tersebut dapat kita temukan pada berbagai karya seni baik lukisan dan patung, seperti Tugu Selamat Datang di Kota Padang. 

Carano di minangkabau biasanya diumpamakan sebagai kehadiran atau kedudukan dan kemulian pada angku niniak mamak dan  jajaranya di dalam rumah gadang atau di rumah kaum. Menurut Yunus (2002) menyatakan carano simbol kemuliaan bagi penghulu dan rajo serta orang nan-4 fungsi keluarga adat yakni (1) urang sumando, (2) mamak rumah, (3) mandeh bapak dan (4) anak daro (mempelai wanita).

Bentuk carano yang seperti pohon beringin dilambangkan sebagai penghulu atau mamak di Minangkabau. Sebagaimana mamak bertugas membimbing atau menasehati kemenakannya dan bermanfaat bagi dunsanak atau kaumnya. Jadi carano juga melambangkan kearifan dan tugas mamak di minangkabau.

Menurut Navis (1984) sebagai pemimpin kaumnya, penghulu dikatakan mempunyai “utang”, yakni tanggung jawab dan kewajiban yang harus diingatkan sepanjang waktu. Mamangan mengatakan bahwa penghulu ibarat: kayu gadang di tangah padang, ureknyo tampek baselo, dahannyo tampek bagantuang, daunnyo tampek balinduang, batangnyo tampek basanda (kayu besar di tengah padang, uratnya tempat bersila, dahannya tempat bergantung, daunnya tempat berlindung, batangnya tempat bersandar). Maksudnya, sebagai seorang pemimpin, harus memilihara keselamatan dan kesejahteraan warganya sesuai dengan hukum serta kelaziman.

 

Didalam carano memiliki isian berupa alat untuk menyirih yaitu sirih,  pinang, tembakau, kapur dan gambir merupakan isian yang harus ada di dalam carano. Semua isian dalam carano juga disebut sirih pinang langkok.

 

Menurut Zubaidah (2001), siriah pinang  langkok juga memiliki mengandung makna sosial, berfungsi sebagai media komunikasi. Siriah pinang langkok merupakan media komunikasi rahasia, digunakan untuk menyampaikan berbagai keinginan-keinginan yang tidak mungkin disampaikan secara terang-terangan. Oleh karena itu, untuk menyampaikan keinginan tersebut digunakan sirih langkok sebagai alat komunikasi.

Isi di dalam carano yang berupa sirih pinang langkok merupakan barang wajib yang harus ada pada upacara adat minang. Sirih bila dikunyah akan menimbulkan dua rasa dilidah yaitu pahit dan manis. Dengan mengadakan sirih di hadapan tamu pada awal pertemuan saat upacara adat contohnya pada upacara meminang, maka diharapkan segala sesuatu yang kurang sesuai tidak akan menjadi bahan gunjingan.

 

Ketika mempersembahkan sirih biasanya disertai pasambahan yang kurang lebih bunyinya "kaleknyo tingga di rakuangan, cahayo naiak ka pidoman" artinya, jika sirih sudah dimakan yang manis melekat di ujung lidah, yang pahitnya tinggal di kerongkongan. Ini merupakan simbol kearifan manusia yang sadar akan kekuranganya.

 

Maksudnya apabila semua alat menyirih dimakan maka semua itu akan tercampur baur di dalam mulut yang manis dan pahit sama2 dikunyah yang menimbulkan rasa dan sensasi yang luar biasa, itu berarti semua yg dirasakan baik itu manis atau pahit, senang atau sedih haruslah sama2 dirasakan.

 

Sementara itu menurut Bekti (2011) carano yang digunakan sebagai wadah, memiliki makna yang kompleks dalam budaya masyarakat minangkabau. Selain mengandung berbagai makna yang berkaitan erat dengan falsafah adat yang bersendikan syariat islam, dalam perkawinan, carano mencerminkan kemuliaan kaum wanita, serta lambang kekerabatan di Minangkabau. Carano inilah yg menjadi lambang sebagai penghormatan kepada penghulu atau pemimpin di minangkabau.

 

Jadi pada pembahasan tentang filosofi carano dan isiannya di minangkabau, mengemukakan bahwa sangat pentingnya carano dan  isianya pada upacara adat di minangkabau dan betapa arif dan bijakdananya ninik atau orang terdahulu telah memikirkan jauh kedepan, memikirkan kelansungan hidup bermasyarakat untuk generasi penerusnya.  Carano dan isiannya yang memiliki filosofi dan makna yang penting bagi masyarakat Minangkabau Meskipun demikian masih ada lagi alat untuk upacara adat di Minangkabau.




Daftar Pustaka :
Abu Naim, Sjafnir. Siriah Pinang Adat Minangkabau Pengetahuan Adat Minangkabau Tematis. Sentra Budaya : Universitas Michigan. 2006.


Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: PT Grafiti Pers. 1984.
Yunus, Yulizal. Atribut Adat Masyarakat Minangkabau. Padang: IAIN-IB Press. 2002.


Zubaidah. “Kajian Budaya Rupa Terhadap Benda Upacara Adat Carano Pada Masyarakat Minangkabau”. Program Magister Seni Murni Pascasarjana Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2001.

Bekti, Setia. “Makna Di Balik Simbol Adat I”.
https://m.weddingku.com/blog/makna-di-balik-simbol-adat-i. 04 Desember 2017.

 

Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Mengenal Sirih Carano, Sebuah Tradisi Persembahan Penuh Filosofi di Minangkabau

Iklan