suluah.id - Bayangkan kemiskinan sebagai sosok makhluk hidup. Ia berjalan pelan, tapi pasti, merayap masuk ke lorong-lorong kehidupan.
Ia bisa membuat dapur tak berasap, anak putus sekolah, hingga orang kehilangan harapan.
Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah, sampai berkata dengan lantang:
“Seandainya kemiskinan itu seorang manusia, niscaya akan aku bunuh dia.”
“Seandainya kemiskinan itu seorang manusia, niscaya akan aku bunuh dia.”
Ungkapan itu terdengar hiperbolis, tapi sebenarnya adalah alarm keras: kemiskinan bukan sekadar masalah isi dompet, melainkan ancaman bagi martabat, iman, bahkan stabilitas sosial.
Bahaya yang Diingatkan Nabi
Nabi Muhammad SAW pernah berpesan, “Hampir saja kemiskinan membawa pada kekufuran.” (HR. Al-Baihaqi).
Hadis ini bukan untuk menyalahkan si miskin, melainkan teguran bagi masyarakat luas dan para pemegang amanah. Karena ketika seseorang terjepit kesulitan ekonomi, rasa putus asa bisa menjerumuskannya ke jalan gelap.
Data terkini menunjukkan, masalah ini masih nyata di depan mata. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2024 mencapai 9,03% atau sekitar 25 juta jiwa.
Angka ini memang menurun dibanding dekade lalu, tapi tetap saja, satu dari sepuluh warga negeri ini hidup dengan keterbatasan.
Senjata Islam: Zakat dan Solidaritas Sosial
Di sinilah Islam menghadirkan solusi yang bukan sekadar spiritual, tapi juga sistemik. Zakat, infak, dan sedekah diposisikan bukan hanya amal individual, melainkan instrumen sosial-ekonomi.
Seperti dijelaskan ulama besar, Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi, zakat adalah kewajiban yang punya hikmah ganda: membersihkan harta orang kaya dari sifat kikir, sekaligus menghapus rasa dengki dari hati si miskin.
“Zakat itu bukan sekadar sedekah sukarela,” tulisnya, “melainkan hak yang wajib disalurkan demi kemaslahatan umat.”
Jika ditarik ke konteks Indonesia, potensinya sungguh luar biasa. Menurut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun.
Namun, realisasi penghimpunan zakat baru sekitar Rp 30 triliun di 2023—hanya kurang dari 10 persen potensinya.
Bayangkan, jika dana sebesar itu bisa dioptimalkan, kemiskinan struktural bisa digempur dengan lebih efektif: membuka akses pendidikan, layanan kesehatan, modal usaha, hingga pelatihan keterampilan.
Dari Karitatif ke Pemberdayaan
Selama ini, zakat sering berhenti pada bentuk bantuan konsumtif: sembako atau uang tunai sesaat. Padahal, tren baru menunjukkan pergeseran ke arah pemberdayaan produktif.
Misalnya, program Ultra Poor Graduation yang dijalankan sejumlah LAZNAS, mengajarkan penerima zakat untuk membangun usaha mikro, disertai pendampingan keterampilan dan literasi keuangan.
Model semacam ini sejalan dengan apa yang disebut sebagai jihad peradaban: perang melawan kemiskinan dengan tiga “senjata” utama.
Kesadaran spiritual: menghidupkan empati dan solidaritas.
Kelembagaan modern: memperkuat lembaga zakat dan wakaf agar transparan, profesional, dan berdampak nyata.
Kebijakan negara: menghadirkan regulasi dan ekosistem ekonomi yang lebih adil.
Harapan untuk Indonesia
Indonesia punya modal sosial luar biasa: mayoritas penduduknya muslim, budaya gotong royong masih kuat, dan lembaga zakat kian profesional. Jika potensi zakat dikelola dengan baik, kemiskinan bukan mustahil “dibunuh” perlahan.
Pada akhirnya, perjuangan melawan kemiskinan adalah kerja kolektif. Dari sabda Nabi, tekad Ali bin Abi Thalib, hingga gagasan Yusuf Al-Qardhawi, semuanya menegaskan satu hal: kemiskinan bukan nasib yang harus diterima, melainkan musuh bersama yang harus ditundukkan.
Mungkin benar kata pepatah, “kemiskinan itu dekat dengan kekufuran.” Tetapi dengan zakat, solidaritas, dan kebijakan yang berpihak, kita punya senjata untuk menjauhkan bangsa ini dari jurang tersebut.(*)