suluah.id - Bagi sebagian orang, kata liqo mungkin hanya berarti pertemuan rutin tiap pekan — sekelompok orang duduk melingkar, membaca Al-Qur’an, lalu mendengarkan tausiyah. Tapi bagi mereka yang menjalaninya, liqo jauh lebih dari itu.
Ia bukan sekadar melingkar. Ia adalah ruang tumbuh — tempat iman disiram, ukhuwah dipupuk, dan hidup diarahkan kembali menuju makna.
Sekolah Kehidupan yang Membentuk Pribadi
Dalam lingkar kecil itu, seorang Muslim belajar bukan hanya mengenal agama lewat teori, tapi juga menghidupkannya dalam keseharian. Bagaimana menjadi hamba yang taat, pasangan yang bertanggung jawab, dan warga masyarakat yang membawa manfaat.
“Liqo itu seperti sekolah kehidupan,” kata Ustaz Muhammad Nur, seorang pembimbing halaqah di Jakarta Selatan. “Di situ kita belajar bukan untuk sekadar tahu, tapi untuk berubah — sedikit demi sedikit, tapi nyata.”
Setiap pertemuan menjadi ajang saling menasihati dalam kebaikan. Hadis Nabi ﷺ pun mengingatkan:
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi...”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam liqo, seseorang mencium “wewangian iman” dari nasihat dan keteladanan saudara seimannya. Tak jarang, semangat itu menular tanpa banyak kata.
Tempat Menyembuhkan Luka dan Menemukan Solusi
Liqo juga menjadi ruang aman bagi banyak orang untuk berbagi beban hidup.
Ada ibu rumah tangga yang menangis saat bercerita tentang anaknya yang mulai sulit diatur. Ada ayah yang mengaku lelah mencari nafkah namun takut rezekinya tak berkah. Ada pula mahasiswa yang mencari arah hidup di tengah derasnya godaan zaman digital.
Dalam suasana yang hangat, mereka tak hanya saling curhat — tapi saling menguatkan dengan bimbingan Al-Qur’an dan sunnah.
“Kadang satu ayat saja bisa menenangkan hati yang selama ini gelisah,” kata Fitri, seorang peserta liqo di Padang yang telah ikut selama lima tahun terakhir.
Fenomena ini juga disorot oleh psikolog keluarga dari UIN Syarif Hidayatullah, Dr. Rini Wahyuni. Ia menilai, liqo berperan positif bagi kesehatan mental umat.
“Liqo memberi rasa memiliki dan dukungan sosial yang kuat. Ini sangat penting di era individualisme tinggi sekarang,” ujarnya.
Dari Lingkaran Kecil ke Gerakan Besar
Tak banyak yang menyadari, gerakan besar dalam sejarah Islam pun lahir dari lingkaran-lingkaran kecil seperti ini. Nabi Muhammad ﷺ memulai dakwahnya di rumah Arqam bin Abi Arqam — tempat pertama iman ditanamkan dan ukhuwah dikuatkan.
Begitu pula di masa kini. Dari liqo yang istiqamah, lahirlah keluarga-keluarga sakinah, pemuda beradab, dan masyarakat yang peduli. Di sinilah benih kebangkitan umat disemai, perlahan namun pasti.
Data dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Indonesia pada 2023 mencatat, kegiatan liqo dan halaqah mahasiswa meningkat hampir 30 persen dibandingkan tiga tahun sebelumnya.
“Ini menunjukkan anak muda mencari wadah yang menyeimbangkan logika dan ruhani,” ujar koordinator nasional LDKI, Ahmad Naufal.
Menjaga Ruh Tarbiyah
Namun, sebagaimana tanaman butuh air, liqo juga membutuhkan ruh yang menjaga agar tak kering makna. Bila hanya sekadar hadir tanpa niat memperbaiki diri, maka lingkar itu bisa kehilangan ruh tarbiyahnya.
“Liqo bukan formalitas. Ia tempat menumbuhkan iman dan amal secara bertahap,” kata Ustazah Lina Rahma, pembimbing liqo muslimah di Bandung.
Setiap peserta datang bukan hanya untuk mendengar, tetapi untuk berproses — agar lebih baik hari ini daripada kemarin.
Lingkar Iman yang Menggerakkan Umat
Pada akhirnya, liqo bukanlah kegiatan bagi “mereka yang punya waktu senggang”, tetapi bagi mereka yang ingin hidupnya bermakna.
Ia adalah majelis yang menumbuhkan iman, memperbaiki keluarga, dan menyembuhkan luka umat.
Dari sana lahir pribadi kuat, keluarga harmonis, dan masyarakat yang bergerak menuju ridha Allah.
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imran: 104)
(*)