Suluah.id - Banyak orang punya kemampuan jadi pemimpin: ada yang pintar, berpengalaman, bahkan berpengaruh.
Tapi, sejarah membuktikan, yang jauh lebih langka adalah hati yang lapang menerima orang lain sebagai pemimpin—meski dirinya juga sebenarnya layak.
Inilah problem klasik yang tidak pernah habis: bukan soal siapa yang mampu memimpin, tetapi siapa yang rela dipimpin.
Teladan dari Para Sahabat
Sejarah Islam menyimpan kisah indah tentang keikhlasan. Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq terpilih sebagai khalifah pertama. Umar bin Khattab—yang juga sangat layak—justru menjadi orang pertama yang membaiatnya.
Dengan lantang ia berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada Abu Bakar.”
Begitu pula saat Umar wafat. Beliau menunjuk majelis syura yang terdiri dari enam sahabat terbaik. Dari musyawarah itu lahirlah Utsman bin Affan sebagai khalifah, dan Ali bin Abi Thalib menerimanya dengan lapang dada.
Padahal, semua sahabat punya kapasitas besar untuk memimpin.
Sikap ini bukan sekadar politik. Ini soal menjaga persatuan umat.
Sikap ini bukan sekadar politik. Ini soal menjaga persatuan umat.
Realitas Zaman Kini
Sayangnya, di era sekarang, perebutan kepemimpinan sering terjadi. Bukan hanya di panggung politik, tapi juga dalam organisasi kecil, bahkan di masjid.
Yang muncul seringkali bukan siapa yang paling mampu, melainkan siapa yang paling ngotot.
Akibatnya? Perpecahan, iri hati, dan hilangnya keberkahan.
Padahal Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa kepemimpinan bisa menjadi penyesalan di akhirat, jika hanya dikejar demi ambisi pribadi (HR. Bukhari).
Pelajaran untuk Kita
Ada tiga hal penting yang bisa kita petik:
- Jadi pemimpin itu mulia, tapi lebih mulia lagi jika ikhlas menerima orang lain yang terpilih.
- Persatuan lebih berharga daripada kursi jabatan.
- Lapang dada adalah akhlak para sahabat, warisan berharga yang seharusnya kita teruskan.
Sejarah mengingatkan kita: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali—semuanya layak jadi pemimpin. Tapi mereka menomorsatukan ukhuwah di atas ambisi.
Kalau umat Islam ingin kuat, mungkin resepnya sederhana: bersaing dalam kebaikan, tapi legowo saat keputusan sudah ditetapkan.(*)



