suluah.id - Di negeri yang sering gaduh oleh hal-hal sepele, “Tepuk Sakinah” sukses mencuri panggung.
Hanya sebuah tepukan berirama di kelas bimbingan pernikahan KUA, tapi sudah bikin sebagian orang salah paham: seolah-olah tanpa hafal tepukan, akad nikah tak sah.
Kementerian Agama tentu harus buru-buru menjelaskan, “Tepuk Sakinah” hanyalah ice breaking.
Ya, semacam cemilan ringan sebelum masuk ke menu utama: membicarakan janji kokoh, saling ridha, dan cinta yang dirawat.
Tetapi seperti biasa, di negeri yang punya bakat besar menggoreng isu, tepuk ini lebih dulu viral ketimbang makna di baliknya.
Lucunya, sebagian Gen Z justru menganggap ini kreatif. Apa salahnya kalau kelas bimbingan tak lagi kaku, bahkan bisa mirip workshop motivasi dengan sedikit gimmick?
Toh, kalau Gen Z bisa serius belajar lewat TikTok satu menit, mengapa belajar sakinah tak bisa lewat tepukan lima detik?
Namun mari kita jujur, persoalan rumah tangga tentu tak bisa selesai dengan “plak-plak-plak”. Tepuk sakinah hanyalah pintu masuk, bukan kunci ajaib.
Membina keluarga bahagia perlu konsistensi, komunikasi, dan, yah, mungkin lebih sering menahan ego ketimbang menahan tepuk tangan.
Kita bisa senyum melihat fenomena ini. Tapi di balik senyum itu, ada pesan sederhana: jangan pernah meremehkan hal kecil yang bisa mengubah suasana.
Kalau sebuah tepukan bisa bikin calon pengantin merasa rileks dan siap belajar, bukankah itu lebih sakinah daripada bimbingan yang bikin ngantuk? (*)