Suluah.id - Di antara banyak kisah perjalanan ulama besar, kisah hidup Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i menempati tempat istimewa.
Bukan hanya karena beliau pendiri salah satu mazhab besar dalam Islam, tapi karena perjalanan hidupnya adalah kisah tentang kerendahan hati, kecerdasan luar biasa, dan bakti tanpa batas pada seorang ibu.
Awal Perjalanan Sang Penuntut Ilmu
Imam Syafi‘i lahir di Gaza, Palestina, pada tahun 767 M (150 H), namun dibesarkan di Makkah oleh ibunya setelah sang ayah wafat.
Dalam kitab Tabaqat Asy-Syafi‘iyyah, disebutkan bahwa sejak kecil beliau dikenal cerdas, fasih, dan cepat hafal. Di usia tujuh tahun, beliau sudah hafal Al-Qur’an, dan di usia sepuluh, hafal Al-Muwaththa’, karya monumental Imam Malik.
Namun satu hal paling menarik adalah bagaimana sang ibu mendidiknya dengan penuh keikhlasan. Suatu ketika, guru beliau di Makkah berkata,
“Wahai Muhammad, pergilah engkau ke Madinah. Ilmu yang ada padaku sudah engkau serap seluruhnya.”
Dengan restu penuh, ibunya berpesan,
“Nak, pergilah menuntut ilmu di jalan Allah. Kita akan bertemu lagi di akhirat.”
Kata-kata itu menjadi doa yang mengiringi langkah muda Imam Syafi‘i menuju Madinah, pusat ilmu pengetahuan Islam saat itu.
Menimba Ilmu dari Para Ulama Besar
Di Madinah, beliau berguru kepada Imam Malik bin Anas, ulama besar yang menjadi rujukan utama mazhab Maliki. Tak butuh waktu lama, kecerdasan Imam Syafi‘i membuat Imam Malik kagum. Dalam catatan sejarah, Imam Malik bahkan menyebutnya sebagai “anak muda yang Allah beri cahaya di hatinya.”
Setelah Imam Malik wafat, Imam Syafi‘i melanjutkan perjalanan ke Irak—pusat keilmuan lain di dunia Islam. Di sana, beliau menimba ilmu dari murid-murid Imam Abu Hanifah, sang pendiri mazhab Hanafi.
Dua pusat ilmu besar—Hijaz dan Irak—menjadi tempat beliau menyatukan pemikiran nash (teks) dan ra’yu (nalar), yang kelak melahirkan mazhab Syafi‘i: perpaduan antara tradisi Madinah dan rasionalitas Kufah.
Nama yang Menggema hingga Tanah Suci
Popularitas Imam Syafi‘i melesat di Irak. Murid-murid datang berbondong-bondong dari berbagai wilayah. Ia bukan hanya dikenal karena ilmunya, tetapi juga karena kepribadiannya yang lembut dan santun dalam berdebat.
Sampai suatu musim haji, seorang ulama besar Irak memberikan pengajian di Masjidil Haram. Berkali-kali ia mengutip,
“Qāla Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i…” — “Telah berkata Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i…”
Di antara jamaah, seorang wanita tua tertegun. Ia bertanya pelan,
“Siapakah Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i itu?”
Sang ulama menjawab dengan penuh hormat,
“Beliau guruku, seorang ulama besar dari Makkah.”
Air mata wanita itu jatuh perlahan. Ia berkata,
“Wahai Syekh, ketahuilah... beliau adalah anakku.”
Wanita itu tak lain adalah ibunda Imam Syafi‘i sendiri. Pertemuan tanpa rencana itu menjadi momen haru dalam sejarah keilmuan Islam.
Ujian Cinta Seorang Ibu
Ketika kabar itu sampai ke Irak, para murid Imam Syafi‘i menyampaikan pesan dari sang ibu:
“Jika engkau ingin pulang ke Makkah, maka pulanglah, Nak.”
Maka berangkatlah Imam Syafi‘i bersama murid-muridnya. Orang-orang Irak yang mencintainya beramai-ramai memberikan hadiah: unta, bekal, dan harta hingga ratusan ekor. Namun ketika berita itu sampai ke telinga ibundanya, reaksi sang ibu justru mengejutkan.
“Aku menyuruhnya berkelana bukan untuk mencari dunia! Katakan padanya, ia belum boleh pulang!”
Pesan itu membuat Imam Syafi‘i gemetar. Ia pun memerintahkan murid-muridnya untuk membagikan seluruh harta dan unta itu kepada kaum miskin di Makkah, hingga tak tersisa satu pun kecuali kitab dan ilmu.
Baru setelah itu sang ibu berkata,
“Sekarang, katakan pada Syafi‘i... ia boleh pulang.”
Warisan Abadi Seorang Ulama dan Seorang Ibu
Kisah itu menjadi simbol betapa ilmu dan keikhlasan adalah warisan paling berharga. Imam Syafi‘i wafat di Mesir pada tahun 820 M, namun ajarannya terus hidup dan menjadi pegangan jutaan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sejarawan Islam seperti Adz-Dzahabi dan Ibn Hajar al-Asqalani menulis bahwa kecerdasan Imam Syafi‘i setara dengan keikhlasannya. Ia bukan hanya ilmuwan, tetapi juga simbol akhlak, pengorbanan, dan bakti seorang anak kepada ibunya.
Relevansi untuk Masa Kini
Kisah Imam Syafi‘i adalah pengingat bahwa dalam menuntut ilmu — atau dalam profesi apa pun hari ini — keberkahan tidak datang dari banyaknya harta atau gelar, melainkan dari keridhaan orang tua dan ketulusan hati.
Di era serba cepat ini, mungkin kita tak lagi berjalan berbulan-bulan menuntut ilmu seperti beliau. Tapi semangatnya — belajar tanpa pamrih, berjuang tanpa mengeluh, dan menghormati guru serta orang tua — adalah nilai yang tetap abadi.
“Barang siapa ingin hatinya terang,” kata Imam Syafi‘i dalam salah satu nasihatnya, “hendaklah ia menjauhi maksiat dan menuntut ilmu dengan rendah hati.”
(*)