suluah.id - Indonesia selalu dielu-elukan sebagai negeri dengan umat Islam terbanyak di dunia. Namun di balik kemegahan statistik itu, terselip fakta yang bikin dahi berkerut: mayoritas umat Muslim di tanah air ternyata belum bisa membaca Alquran.
Angkanya tidak main-main. Survei pada 2020 mencatat 59 persen umat Islam di Indonesia buta huruf Alquran. Setahun kemudian melonjak jadi 65 persen.
Dan di 2022, tembus 72,25 persen. Ironis bukan? Negeri dengan label populasi Muslim terbesar kedua di dunia, tapi warganya masih kesulitan membaca kitab sucinya sendiri.
Pertanyaan yang layak diajukan: apakah kita hanya sibuk mengumpulkan jumlah, tapi lupa pada kualitas?
Di sinilah muncul inisiatif yang patut diapresiasi. Penerbit Rahmah Bilqis Media bersama Lembaga Wakaf MUI meluncurkan Dana Abadi Literasi Alquran (DALA).
Program ini hadir dengan metode belajar yang kekinian, namanya BTHQ: Baca, Tulis, Hafal Quran. Metode ini ibarat “paket lengkap” — bukan sekadar membaca, tapi juga menulis dan menghafal, dengan pengulangan hingga benar-benar melekat.
Bagi generasi yang sudah akrab dengan barcode dan QR code, jangan khawatir. DALA paham betul. Mereka bahkan menyiapkan barcode murotal dari qari Masjidil Haram yang bisa diputar berulang-ulang sambil menulis. Cocok untuk Gen Z yang hidupnya tak jauh-jauh dari scan kode dan headphone.
Apalagi, metode ini juga dilengkapi dengan panduan warna-warni yang membuat belajar Qur’an tidak lagi membosankan. Menghafal pun terasa lebih ringan, tak ubahnya mengingat lirik lagu yang sering diputar di playlist Spotify.
Peluncurannya digelar serentak, termasuk di Masjid Istiqlal Jakarta, dengan melibatkan santri, siswa, hingga peserta internasional. Sebuah langkah yang menunjukkan bahwa gerakan ini serius, bukan sekadar wacana di mimbar.
Tentu, semua ini butuh dukungan publik. DALA membuka peluang wakaf: setiap rupiah yang didonasikan akan dipakai untuk mencetak Alquran dengan metode BTHQ.
Dengan kata lain, donatur bukan hanya menunaikan amal, tapi juga ikut membentuk generasi Qur’ani.
Pada akhirnya, problem buta huruf Alquran bukan sekadar soal angka dalam survei. Ini adalah soal masa depan literasi spiritual bangsa.
Sebab, percuma kita berbangga dengan gelar “negara Muslim terbesar” bila kitab sucinya sendiri masih asing di mata umatnya.
Jangan biarkan Alquran hanya jadi ornamen indah di lemari kaca rumah. Sudah saatnya ia hidup di hati, pikiran, dan lisan generasi.
DALA mungkin bukan jawaban tunggal, tapi jelas merupakan langkah berani menuju bangsa yang tak hanya banyak berislam, tapi juga melek Qur’an.(*)