Iklan

Hati yang Tersesat di Labirin Amal

30 Oktober 2025, 12:07 WIB



Suluah.id - Di tengah hiruk-pikuk kegiatan keagamaan — dari majelis taklim yang padat hingga konten dakwah yang ramai di media sosial — ada satu pertanyaan yang diam-diam menghantui banyak hati: apakah kita benar-benar tulus beramal, atau hanya tersesat di labirin amal yang penuh kepura-puraan?

Fenomena ini bukan hal baru. Sejak berabad-abad lalu, para ulama sudah mengingatkan bahwa manusia bisa tampak religius di luar, tapi kosong di dalam. 

Ibnu As-Sammāk, seorang ulama zuhud dari abad ke-2 Hijriah, pernah menulis kalimat yang menohok dan masih relevan hingga kini:
Betapa banyak orang yang mengingatkan tentang Allah, tapi ia sendiri lupa kepada-Nya.Betapa banyak yang menakut-nakuti dengan azab Allah, tapi justru berani bermaksiat kepada-Nya.Betapa banyak yang menyeru kepada Allah, tapi ia sendiri lari dari-Nya.”
(Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali)

Kalimat ini terasa seperti cermin yang memantulkan wajah batin kita. Di era serba digital, ketika dakwah, ceramah, bahkan sedekah bisa diunggah ke media sosial, godaan untuk menukar keikhlasan dengan likes dan pujian menjadi nyata.

Ketika Amal Jadi Panggung


Sosiolog agama dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Azyumardi Azra (alm), dalam berbagai tulisannya pernah mengingatkan bahwa ritual keagamaan tanpa kedalaman spiritual hanya akan melahirkan “kesalehan simbolik”.

Artinya, seseorang bisa tampak religius secara sosial — aktif di masjid, rajin berdakwah, aktif di kegiatan sosial — tetapi kehilangan ruh ketulusan yang menjadi inti ibadah itu sendiri.

Fenomena ini juga terlihat dalam banyak survei sosial keagamaan. Misalnya, survei LSI (2022) menunjukkan 72% responden di Indonesia menilai masyarakat sekarang lebih religius secara lahiriah, tapi tidak diikuti peningkatan moralitas publik.

Artinya, religiusitas sosial belum tentu berbanding lurus dengan kejujuran dan empati.

Antara Lisan dan Hati


Al-Qur’an sudah mengingatkan tentang bahaya ketidaksinkronan antara ucapan dan perbuatan.

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. As-Saff: 2–3)

Ayat ini mengandung pesan yang sederhana namun berat: jangan sampai lidah lebih cepat dari hati. Karena di situlah kemunafikan halus lahir — bukan yang ditandai kebohongan besar, melainkan ketidaktulusan kecil yang berulang.

Menurut psikolog klinis dan penulis buku The Spiritual Mind, dr. Fitri Rahmadani, M.Psi., kecenderungan “dualitas diri” ini sering muncul karena tekanan sosial. “Kita ingin dianggap baik, saleh, atau berilmu.

Tapi lupa bahwa nilai spiritual sejati diukur dari hubungan pribadi dengan Tuhan, bukan pengakuan publik,” ujarnya.

Dekat di Lisan, Jauh di Hati

Dalam tradisi tasawuf, kondisi ini disebut sebagai ghaflah — kelalaian hati.
Syeikh Ibnu ‘Athā’illah al-Sakandarī, dalam kitab al-Hikam, menulis:
Boleh jadi Allah membukakan bagimu pintu ketaatan, tetapi tidak membukakan pintu penerimaan (qabūl).”

Maknanya jelas: amal ibadah bisa banyak, tapi belum tentu diterima jika tanpa kejujuran hati. Bahkan, kadang sebuah dosa kecil yang disesali sungguh-sungguh bisa lebih mendekatkan kita kepada Allah dibanding amal besar yang penuh kesombongan.

Belajar dari Diri Sendiri


Setiap orang berpotensi terjebak dalam labirin amal — merasa sudah dekat dengan Tuhan, padahal mungkin hanya berputar di jalan yang sama tanpa benar-benar mendekat. Jalan keluarnya bukan dengan berhenti beramal, melainkan dengan terus memperbaiki niat.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis bahwa muhasabah (introspeksi diri) adalah cara paling efektif untuk menjaga kebersihan hati. Ia menyebut, “Jangan biarkan amal menjadi beban, tapi jadikan ia jembatan menuju keikhlasan.”

Sementara itu, ulama besar kontemporer, Syekh Ali Jaber (alm), dalam salah satu ceramahnya menegaskan bahwa amal saleh yang tidak ikhlas hanyalah perbuatan sosial biasa, bukan ibadah spiritual. “Allah tidak melihat seberapa besar amalmu, tapi seberapa tulus niatmu,” ujarnya.

Menemukan Jalan Pulang

Kita hidup di masa di mana performa sering lebih dihargai daripada makna.
Tapi, dalam hal spiritualitas, ukuran tertinggi bukanlah seberapa banyak kita tampak berbuat baik, melainkan seberapa jujur hati kita ketika tidak ada yang melihat.

Mungkin inilah yang disebut Ibnu As-Sammāk sebagai “lari dari Allah saat menyeru kepada-Nya” — ketika kita terlalu sibuk tampil saleh, tapi lupa untuk benar-benar mendekat.

Kembali kepada kejujuran (al-sidqu ma’a Allah) adalah perjalanan seumur hidup. Ia dimulai dari hal kecil: menata niat, memperbaiki hati, dan terus bertanya, “Untuk siapa aku melakukan ini?”
Karena di ujung segala amal, yang tersisa hanyalah satu hal: keikhlasan.

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus.”
(QS. Al-Bayyinah: 5)

Dan mungkin, di situlah letak kebahagiaan spiritual yang sejati — saat lisan dan hati akhirnya berdamai, berjalan seirama menuju satu arah: Allah semata.
(*)
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Hati yang Tersesat di Labirin Amal

Iklan