Suluah.id - Bagi sebagian orang, dakwah kerap terlihat sederhana: menyampaikan kebaikan, berbicara di mimbar, atau mengisi ceramah di layar kaca. Namun, di balik itu, kehidupan para da’i tidak selalu sama.
Ada yang hidup serba terbatas hingga harus mengencangkan ikat pinggang, ada pula yang justru berlimpah harta dari jalan dakwah.
Hidup Sederhana Sang Penyeru Kebaikan
Di banyak pelosok, kita bisa dengan mudah menemukan sosok ustaz kampung yang mengajar ngaji dari rumah ke rumah. Mereka tidak mematok tarif, bahkan sering menolak amplop kecil yang diberikan jamaah. Hidupnya pas-pasan, tapi hatinya lapang.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam catatan sejarah Islam, sahabat Abu Hurairah—perawi hadis terbanyak—pernah jatuh pingsan di masjid karena kelaparan. Kisah ini mengingatkan bahwa perjuangan dakwah kerap diiringi ujian rezeki.
“Banyak ustaz di desa yang sebenarnya adalah pahlawan literasi Al-Qur’an. Mereka bekerja dalam senyap, tapi keberadaannya sangat penting bagi pembentukan generasi muda,” ujar Dr. Adian Husaini, Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, dalam sebuah wawancara (2022).
Da’i Kaya: Antara Amanah dan Ujian
Di sisi lain, sejarah juga mencatat adanya para da’i yang justru bergelimang harta. Abdurrahman bin ‘Auf dan Utsman bin Affan adalah contoh sahabat Nabi yang sukses dalam perdagangan.
Bedanya, kekayaan itu justru mereka salurkan untuk menopang dakwah, membiayai peperangan, dan membantu fakir miskin.
Ulama besar seperti Imam Abu Hanifah juga dikenal sebagai pedagang sukses. Hasil usahanya tak hanya dinikmati sendiri, tapi dipakai untuk mendukung murid-muridnya.
Di era modern, fenomena serupa terjadi. Nama-nama da’i populer yang tampil di televisi nasional atau mengelola kanal YouTube dengan jutaan subscriber bisa meraih penghasilan fantastis.
Dari kontrak program, penjualan buku, hingga donasi jamaah, semua menjadi sumber rezeki.
Namun, di sinilah tantangan baru muncul.
Namun, di sinilah tantangan baru muncul.
“Semakin besar penghasilan, semakin besar pula tanggung jawab sosialnya. Harta dari jalan dakwah seharusnya kembali pada umat, bukan hanya untuk kemewahan pribadi,” kata Prof. Azyumardi Azra (alm), cendekiawan Muslim, dalam salah satu tulisannya.
Menyatukan Kekuatan Dakwah
Perbedaan kondisi ekonomi seharusnya tidak menjadi jurang pemisah antar-da’i. Yang hidup sederhana jangan merasa minder, yang berlimpah rezeki jangan terjebak pada kesombongan.
Sebaliknya, kolaborasi bisa menjadi kunci. Bayangkan jika ustaz kota yang mapan membantu ustaz kampung dengan kitab, kendaraan, atau biaya pendidikan anaknya.
Dampaknya bukan hanya memperkuat ukhuwah, tetapi juga meningkatkan kepercayaan umat.
Al-Qur’an sendiri sudah menegaskan: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2).
Dakwah Bukan Profesi Biasa
Dakwah, pada akhirnya, bukan sekadar profesi yang menghasilkan materi. Ia adalah amanah mulia. Perbedaan kesejahteraan para da’i hanyalah ujian.
Ada yang diuji dengan kesempitan, ada pula yang diuji dengan kelapangan.
Yang paling penting, mereka saling menopang, karena dakwah bukan kerja individu semata, melainkan kerja kolektif yang membutuhkan sinergi.
Mungkin inilah pesan yang paling relevan untuk zaman sekarang: jangan biarkan dakwah berjalan sendiri-sendiri. Karena ketika para penyeru kebaikan bersatu, maka umat pun akan merasakan manfaat yang lebih nyata.(*)