Suluah.id - Bayangkan pagi ini kamu membuka mata, melihat cahaya matahari menembus jendela, lalu dengan spontan berkata, “Masih ada waktu.” Tapi, benarkah begitu?
Kita sering kali menunda hal baik dengan alasan klasik: nanti aja. Padahal, “nanti” itu belum tentu datang. Inilah refleksi yang disampaikan oleh ulama besar abad pertama Hijriah, Imam Hasan Al-Bashri, yang pernah menuturkan kalimat menohok:
“Sesungguhnya kalian hari ini bisa beramal tanpa dihisab, sedangkan mereka (yang telah tiada) kelak akan dihisab tanpa bisa lagi beramal."
Kata-kata itu bukan sekadar nasihat, tapi pengingat keras tentang betapa berharganya waktu dan kesehatan yang sering kita abaikan.
Hasan Al-Bashri hidup di masa para sahabat Nabi ﷺ — masa yang dikenal dengan kesederhanaan dan kesungguhan dalam beramal. Ia melihat bagaimana banyak orang berjuang untuk berbuat kebaikan sebelum datangnya penyesalan di ujung usia.
Menunda, Kebiasaan Modern yang Terlalu Nyaman
Zaman sekarang, menunda bukan cuma kebiasaan—tapi hampir jadi budaya. Kita menunda olahraga karena “lagi capek”, menunda sedekah karena “nanti kalau ada lebih”, menunda taubat karena “masih muda”.
Padahal, Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan dalam hadis riwayat al-Hakim:
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu, luangmu sebelum sibukmu, mudamu sebelum tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.”
Dalam bahasa sekarang, ini bisa diartikan sebagai ajakan agar kita tidak menunda prioritas hidup. Banyak penelitian modern pun mendukung pesan ini.
Misalnya, riset dari Psychological Science (2013) menyebutkan bahwa kecenderungan menunda pekerjaan (procrastination) sering membuat seseorang menyesal dan kehilangan arah hidup. Ternyata, sains pun sejalan dengan hikmah yang diajarkan Nabi 14 abad lalu.
Belajar dari Para Sahabat: Hidup yang Tidak Ditunda
Kisah para sahabat Nabi menjadi cermin sederhana tentang arti segera berbuat baik.
Abu Bakar ash-Shiddiq, misalnya, selalu menjadi orang pertama dalam setiap kebaikan. Ia tak menunggu orang lain melangkah lebih dulu.
Sementara Umar bin Khattab RA, punya kalimat reflektif yang sangat relevan untuk zaman sekarang:
“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.”
“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.”
Kalimat itu seolah menantang kita untuk melihat diri sendiri sebelum waktu habis—sebelum hidup berhenti, sebelum tangan tak lagi bisa memberi, dan sebelum lisan tak sempat meminta maaf.
Hidup Bukan Tentang Lama, Tapi Tentang Makna
Hidup yang berarti bukan soal berapa lama kita menjalaninya, melainkan seberapa dalam kita memaknainya. Dalam setiap napas dan langkah, ada ruang untuk memberi arti: menyapa orang tua, membantu teman, atau sekadar tersenyum kepada orang asing.
Hal-hal kecil seperti itu sering terlihat sepele, tapi dalam pandangan Islam, ia bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar.
Kesehatan dan waktu luang, kata Imam Hasan Al-Bashri, adalah dua anugerah yang sering dilupakan. Bahkan dalam hadis riwayat al-Bukhari disebutkan, “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu karenanya: kesehatan dan waktu luang.”
Doa di Tengah Hiruk Pikuk Waktu
Di tengah kesibukan dan layar ponsel yang tak pernah padam, ada baiknya kita berhenti sejenak—menatap ke dalam diri.
Barangkali, yang kita butuhkan bukan lagi waktu lebih, tapi kesadaran lebih untuk menggunakannya dengan bijak.
“Ya Allah, berkahilah umur kami, perbaikilah hati kami, jadikan hari-hari kami penuh ketaatan dan dzikir kepada-Mu, dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yang lalai.”
Karena sejatinya, hidup ini bukan tentang seberapa lama kita punya waktu, tapi seberapa banyak kita menggunakan waktu itu untuk sesuatu yang berarti — sebelum “nanti” benar-benar tak datang lagi.
(*)



