Iklan

Di Antara Langit Palestina dan Tanah Airku: Sebuah Janji yang Tak Pernah Padam

02 Juli 2025, 12:00 WIB


Suluah.id - Langit di Gaza malam itu terbakar merah. Sementara ribuan kilometer dari sana, di sebuah pesantren kecil di kaki Gunung Merapi, seorang pemuda bernama Azzam menghentikan bacaannya. 

Di tangannya, selembar koran dengan judul besar: Serangan Udara Kembali Guncang Palestina: Puluhan Anak Menjadi Korban. 

Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang menyala—api yang sudah lama menyala, namun kini menyala lebih terang.

Azzam tak mengenal Gaza, tak pernah menginjakkan kaki di tanah itu, tapi sejak kecil, kata “Palestina” adalah semacam mantra sakral yang sering ia dengar dari ayahnya. 

Di dinding ruang tamu rumah mereka, tergantung foto tua: Bung Karno berjabat tangan dengan seorang tokoh Arab bersorban putih. 

“Itu Mufti Palestina,” kata ayahnya suatu malam. “Mereka yang pertama mengakui kemerdekaan kita, sebelum dunia percaya kita layak merdeka.”

Sejak malam itu, Azzam tahu, ada utang sejarah yang tak bisa dilupakan. 

Di kampus, Azzam tumbuh menjadi aktivis mahasiswa. Ia lantang bicara soal HAM, keadilan global, dan... Palestina.

Tapi di suatu titik, suara itu mulai terasa hampa. Ia mulai bertanya pada dirinya: Apakah cukup hanya dengan berteriak di jalan? Apakah benar kita peduli, atau hanya sedang mencari musuh bersama untuk meneguhkan identitas?”

Konflik mulai muncul dalam dirinya. Temannya, Alia—mahasiswi hukum yang sinis namun cerdas—pernah berkata, “Zam, kita ini negara berkembang. Masalah kita banyak. Palestina jauh. Apakah kita tak sedang bersikap naif?”

Kalimat itu menusuk. Dan Azzam tak bisa menjawab.

Sampai suatu ketika, ia mengikuti program relawan kemanusiaan ke perbatasan Lebanon–Palestina. Ia tak bisa masuk Gaza, tapi ia bertemu anak-anak pengungsi Palestina. Salah satunya bernama Yusuf, usia 11 tahun, dengan luka di kakinya dan senyum yang tak pernah hilang.

Yusuf bertanya, “Apakah Indonesia sungguh mencintai kami?”

Azzam tak bisa menahan tangis. Dalam senyuman Yusuf, ia menemukan wajah Indonesia. Dalam luka anak itu, ia menemukan makna dari diplomasi, dari sejarah, dari solidaritas.

Sepulangnya ke tanah air, Azzam menulis surat terbuka ke pemerintah dan rakyat Indonesia. Ia tidak meminta perang. Ia tidak mengajak benci. 

Ia hanya memohon agar bangsa ini tidak melupakan janji moralnya.

“Dunia telah terlalu bising dengan narasi perang dan dendam. Tapi Indonesia,” tulisnya, “punya kekuatan sunyi yang langka: diplomasi yang berakar pada kemanusiaan, sejarah, dan keyakinan. Palestina adalah cermin kita—tentang bagaimana kita memilih berdiri di tengah ketidakadilan.”

Beberapa tahun kemudian, Azzam berdiri di mimbar Majelis HAM PBB di Jenewa. Ia bukan lagi mahasiswa, tapi diplomat muda Indonesia. Di dadanya, pin kecil berbentuk peta Indonesia dan bendera Palestina berdampingan.

“Dukungan kami tidak lahir dari kepentingan geopolitik,” katanya dalam pidato penutup, “tapi dari ingatan sejarah, luka yang saling menjahit, dan janji kemanusiaan yang tak pernah padam. Karena di antara langit Palestina dan tanah air kami, ada jembatan yang tak bisa dihancurkan: solidaritas.”

Cerita ini bukan tentang Azzam semata. Ia bisa saja siapa pun: guru, pedagang, pelajar, ibu rumah tangga. Setiap kita punya pilihan—untuk menjadi bagian dari suara sunyi yang memihak keadilan. 

Palestina bukan hanya konflik jauh di Timur Tengah. Palestina adalah pertanyaan moral: “Jika kita tak bisa menolong tangan yang tertindih, apakah kita pantas menyebut diri manusia?”

(Sani Tsaka
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Di Antara Langit Palestina dan Tanah Airku: Sebuah Janji yang Tak Pernah Padam

Iklan