Suluah.id - Ketika musibah mengetuk pintu kehidupan, tak ada satu pun dari kita yang benar-benar siap. Namun, di balik setiap guncangan, alam seakan menyampaikan pesan—sebuah undangan untuk berhenti sejenak, menata batin, lalu melangkah dengan hati yang lebih kuat.
Itulah yang dirasakan banyak warga Sumatera dalam beberapa pekan terakhir. Bencana hidrometeorologi—banjir, longsor, hingga angin kencang—melanda sejumlah daerah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang periode November–Desember, curah hujan ekstrem meningkat tajam. Ribuan warga terdampak, puluhan rumah rusak, dan aktivitas sosial lumpuh.
Di tengah kepanikan itu, sebagian orang bertanya: “Mengapa musibah ini harus terjadi?”
Lainnya mencoba melihat dari sisi berbeda: “Apa yang ingin Allah ajarkan kepada kita?”
Musibah Bukan Hanya Ujian, Tapi Proses Pendidikan Jiwa
Dalam ajaran Islam, musibah kerap dijelaskan sebagai bagian dari tarbiyah ilahiyah—pendidikan dari Allah untuk menguatkan jiwa seorang hamba. Bukan semata hukuman, tetapi panggilan lembut agar manusia kembali pada fitrah terbaiknya.
Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan sungguh akan Kami uji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini seakan berkata bahwa guncangan hidup tidak datang untuk menjatuhkan, melainkan membentuk ketangguhan.
Rasulullah SAW pun menegaskan:
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.”
(HR. Bukhari)
Sebuah pesan lembut bahwa musibah bisa menjadi jalan naik kelas spiritual, bukan sekadar peristiwa menyakitkan.
Belajar dari Sumatera: Ketika Bencana Menyatukan Rasa Kemanusiaan
Di balik kerusakan yang tampak, selalu ada kisah-kisah kemanusiaan yang menghangatkan. Relawan yang menyusuri desa-desa terisolasi, ibu-ibu yang saling berbagi nasi bungkus meski dapurnya ikut tergenang, hingga anak-anak yang tetap tersenyum saat sekolah darurat didirikan.
BNPB mencatat, lebih dari 80 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi—dipicu oleh perubahan iklim, tata ruang yang tidak siap, dan berkurangnya daerah resapan air. Sumatera adalah salah satu wilayah paling rentan.
Namun, masyarakatnya selalu menunjukkan satu hal: ketangguhan sosial. Dalam bahasa tarbiyah, inilah proses pembelajaran kolektif—menjadi masyarakat yang lebih siap, lebih peduli, dan lebih bersatu.
Menemukan Hikmah: Dari Kesedihan ke Kesadaran
Musibah mengajarkan tiga hal penting yang sering terlewat saat hidup berjalan terlalu cepat:1. Kesadaran bahwa kita tidak sepenuhnya berkuasa
Kita hidup dalam dunia yang serba berubah, dan musibah mengingatkan bahwa ada kekuatan lebih besar yang mengatur.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)
2. Membangun empati dan solidaritas
Tak ada bencana yang tidak menyatukan manusia. Bantuan datang dari mana-mana, membuktikan bahwa kasih sayang adalah fitrah yang selalu hidup.
3. Menguatkan iman dan introspeksi diri
Musibah sering membuat kita kembali bertanya:
Apakah hidup kita selama ini sudah terarah?
Sudahkah kita menebar manfaat?
Rasulullah SAW bersabda:
“Musibah apa pun yang menimpa seorang Muslim, niscaya Allah menghapus sebagian dosa-dosanya, bahkan karena duri yang menusuknya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sebuah penghiburan bahwa setiap rasa sakit pun memiliki nilai kebaikan yang tak terlihat.
Melangkah ke Depan: Antara Ikhtiar dan Tawakal
Tarbiyah tidak berhenti pada kesabaran. Ia menuntut tindakan. Musibah di Sumatera harus menjadi pengingat untuk memperkuat mitigasi bencana, memperbaiki tata ruang, dan menanam pohon sebagai benteng alami.
Para ahli meteorologi mengingatkan bahwa pola cuaca ekstrem akan menjadi “new normal” di Indonesia. Artinya, pendidikan jiwa harus berjalan berdampingan dengan kesiapsiagaan lingkungan.
Dalam Islam, ikhtiar dan tawakal bukan dua hal yang saling meniadakan, tetapi dua sayap yang harus bergerak seimbang.
Harapan yang Selalu Tumbuh
Musibah mungkin menghentikan langkah, tapi tidak pernah memadamkan harapan.
Karena di balik setiap hujan deras, selalu ada mentari yang menunggu giliran.
Dan di balik setiap musibah, selalu ada tarbiyah ilahiyah yang mengarahkan kita menjadi manusia yang lebih kuat, lebih lembut hatinya, dan lebih bijak memaknai hidup.(*)



