Iklan

Ketika Cinta Tumbang Karena Faktor Ekonomi: Menjaga Rasa antara Suami-Istri

17 Oktober 2025, 08:20 WIB


“Sekarang kok banyak banget perempuan yang gugat cerai suaminya, ya?”


Suluah.id - Pertanyaan itu kian sering terdengar—di arisan, di media sosial, bahkan di ruang sidang Pengadilan Agama.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sepanjang 2023, lebih dari 70 persen perceraian di Indonesia diajukan oleh pihak istri.

Angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun, dan sebagian besar disebabkan oleh faktor ekonomi. Namun, benarkah uang selalu menjadi biang kerok utama?

Bukan Uangnya, Tapi Rasanya


Faktanya, persoalan ekonomi sering kali hanya menjadi pemicu permukaan. Di balik angka rupiah, yang retak justru rasa dan adab—hal-hal lembut yang dulu membuat dua hati bertaut.

“Kekayaan membuat orang menatap, tapi adab yang membuat mereka menetap,” begitu kata psikolog keluarga Aulia Rahma, M.Psi.

Menurutnya, banyak pasangan muda kini terjebak pada ekspektasi gaya hidup, bukan makna hidup. “Ketika cinta diuji tagihan, yang bertahan bukan saldo, tapi kesabaran,” tambahnya.

Suami yang baik tak selalu yang bergaji dua digit.

Bisa jadi, dia hanyalah sosok sederhana yang rela begadang demi menimang bayi agar istrinya bisa tidur dua jam tanpa mimpi buruk.

Yang pulang tak membawa bunga, tapi roti hangat dari toko pinggir jalan sambil berkata, “Tadi lewat, keinget kamu.”

Rumah yang Penuh Cinta, Bukan Penuh Banding


Ironisnya, rumah tangga seperti inilah yang sering diuji—bukan oleh kekurangan, tapi oleh perbandingan.

Saat istri mulai mandiri finansial, penghasilan melampaui suami, kadang muncul rasa lelah dan kalimat yang pelan-pelan bisa mematikan cinta: “Kok aku yang lebih capek, ya?”

Padahal, ujian terbesar dalam pernikahan bukan soal harta, tapi rasa syukur.

Ketika syukur menurun, ego mulai naik, dan di situlah cinta kehilangan bentuknya.

Perempuan Kuat, Tapi Tetap Lembut


Zaman kini memberi ruang besar bagi perempuan untuk berkarya dan berpenghasilan. Itu hal baik.
Namun, kekuatan perempuan bukan soal dominasi, tapi tentang kemampuan menenangkan dan menumbuhkan.

Banyak perempuan cerdas dan sukses, tapi kehilangan kelembutan dalam rumah tangga.

Padahal, kadang satu kalimat lembut lebih berharga dari sepuluh juta rupiah yang dikirim ke rekening.

Laki-laki, sekeras apa pun, tetap butuh tempat pulang—bukan tempat diadili. 

Laki-laki yang Diam, Bukan Berarti Kalah


Ketika suami memilih diam saat disalahkan, bukan berarti ia kalah.

Kadang ia hanya tahu bahwa berdebat dengan perempuan yang sedang merasa benar itu seperti menimba air dengan saringan: capek, tapi sia-sia.

Ia memilih diam bukan karena bodoh, tapi karena tahu cinta lebih baik dijaga dengan sabar daripada dijawab dengan amarah.

Dan kabarnya (entah dari siapa), yang benar-benar mencintai bukanlah yang paling sering bilang “sayang”, melainkan yang paling sabar menanggung salahmu.

Kaya Sabar Lebih Langka dari Kaya Saldo


Mungkin suamimu bukan yang paling kaya, tapi kalau hatinya penuh kasih, jangan bandingkan dengan yang lain.

Sebab yang satu kaya saldo, yang satu kaya sabar. Dan di zaman sekarang, sabar jauh lebih langka.
Cinta, sejatinya, bukan tentang siapa yang lebih banyak memberi, tapi siapa yang lebih banyak memahami.

Dan rumah tangga, pada akhirnya, bukan lomba siapa yang lebih kuat, tapi siapa yang lebih tulus belajar memahami kelemahan satu sama lain.

Seperti kata pepatah Arab:
Ar-rijāl qawwāmūna ‘ala an-nisā,” — laki-laki memang pemimpin bagi perempuan,
tapi pemimpin sejati bukan yang berkuasa, melainkan yang mampu menjaga dan mengasihi.

Jadi, jika kau punya suami yang sederhana, tapi sabarnya luas, jangan lepaskan.

Sebab dalam dunia yang sibuk menghitung materi, cinta yang sabar adalah kemewahan yang sulit dicari. (*) 
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Ketika Cinta Tumbang Karena Faktor Ekonomi: Menjaga Rasa antara Suami-Istri

Iklan