Suluah.id - Di tengah percakapan tentang masa depan yang penuh ketidakpastian—perubahan iklim, krisis pangan, hingga derasnya arus teknologi—kita sering lupa bahwa harapan kadang bersembunyi dalam tindakan paling sederhana: menanam.
Menariknya, jauh sebelum dunia sibuk membahas keberlanjutan dan sustainability, sebuah pesan kuno telah lebih dulu mengajarkan hal itu.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum hari kiamat itu terjadi untuk menanamnya, maka tanamlah.”
Pesan singkat namun kuat itu—yang dalam tradisi Arab dikenal pula lewat pepatah “nahnu naghrisu liya’kula man ba’dana” (kita menanam untuk generasi setelah kita)—mengandung filosofi mendalam tentang optimisme, keberlanjutan, dan nilai kerja keras yang tidak berhenti hanya karena keadaan terlihat suram.
Lebih dari Sekadar Tunas: Sebuah Pelajaran Tentang Optimisme
Hadis ini bukan sekadar ajakan bercocok tanam. Ia adalah metafora besar tentang bagaimana manusia harus tetap bergerak, berbuat baik, dan menebar manfaat meski dunia terasa berada di ujung tanduk.
Para ulama seperti Imam Ibn Hajar dan Al-Munawi memaknai hadis ini sebagai seruan untuk tidak pasrah pada keadaan.
Artinya, bahkan dalam situasi terburuk sekalipun, kita tetap diminta untuk melakukan hal baik yang dapat memberi manfaat—walau mungkin kita tidak akan sempat melihat hasilnya.
Di tengah dunia yang makin pesimistis, pesan ini terasa relevan. Optimisme bukan tentang memastikan hasil, tetapi tentang memastikan usaha.
Mengapa Menanam Penting—Secara Harfiah dan Simbolis
Riset modern ternyata mendukung makna hadis tersebut. Laporan FAO dan UNEP (2023) menunjukkan bahwa pohon dan tumbuhan bukan hanya penopang ekosistem, tetapi juga memberi efek positif bagi kesehatan mental manusia.
Penelitian Universitas Exeter (2022) menemukan bahwa berinteraksi dengan tanaman dapat menurunkan stres hingga 21% dan meningkatkan suasana hati secara signifikan.
Di tengah krisis lingkungan global, ajakan “menanam tunas” seperti menjadi simbol bahwa tanggung jawab lingkungan bukan hanya urusan lembaga internasional, tapi bisa dimulai dari tindakan kecil tiap individu.
Bahkan organisasi seperti World Resources Institute (WRI) menggarisbawahi bahwa langkah paling efektif memulihkan ekosistem adalah melalui community-based restoration—persis seperti semangat hadis ini: tindakan kecil, dilakukan banyak orang, dengan konsistensi.
Tindakan Sederhana, Manfaat Besar
Jika ditarik pada konteks sosial modern, “menanam tunas” bisa berarti banyak hal:
Menanam pohon benar-benar, sebagai bagian dari gaya hidup hijau.
Mengembangkan ide atau proyek sosial meski skala kecil.
Melakukan kebaikan yang mungkin tampak remeh tapi berdampak jangka panjang.
Mengajarkan nilai kepada anak atau generasi muda.
Sosiolog Emile Durkheim pernah menyebut bahwa masyarakat bertahan bukan karena struktur yang kuat, melainkan karena “tindakan baik yang diulang setiap hari.”
Maka, hadis ini seperti menegaskan hal yang sama: perubahan besar kadang lahir dari tindakan kecil yang dilakukan secara konsisten dan penuh niat baik.
Spirit Berkelanjutan dalam Tradisi Nusantara
Menariknya, pesan menanam untuk generasi mendatang juga tersimpan dalam banyak budaya lokal di Nusantara. Masyarakat Minangkabau memiliki pepatah “alam takambang jadi guru,” yang mengajarkan bahwa belajar dan menjaga alam adalah kewajiban bersama.
Sementara masyarakat Jawa mengenal falsafah hamemayu hayuning bawana—merawat keindahan dunia, bahkan ketika kita mungkin tak lagi menikmatinya secara langsung.
Dapat disimpulkan: pesan keberlanjutan adalah warisan universal manusia.
Menanam Harapan di Masa Kini
Di era digital yang serba cepat, di mana masyarakat berlomba mengejar sesuatu yang instan, hadis tentang tunas ini mengingatkan kita tentang pentingnya melakukan hal yang benar meski dunia seakan tidak menunggu.
Menanam tunas—baik secara harfiah maupun metaforis—adalah tindakan melawan putus asa. Ia adalah investasi moral, spiritual, dan ekologis bagi masa depan.
Dan mungkin, justru pada tindakan kecil itulah masa depan menemukan pijakannya.
Pada akhirnya, pesan sederhana itu tetap abadi:
Jika dunia seakan akan berakhir, tetaplah menanam.
Karena harapan selalu tumbuh dari tangan-tangan yang tak pernah lelah berbuat kebaikan.(*)
Jika dunia seakan akan berakhir, tetaplah menanam.
Karena harapan selalu tumbuh dari tangan-tangan yang tak pernah lelah berbuat kebaikan.(*)



