Suluah.id - Di balik kehidupan modern Kota Padang Panjang yang dikenal sebagai “Serambi Mekah”-nya Minangkabau, tersimpan hubungan historis dan sosiologis yang begitu dekat dengan Nagari Pandai Sikek—sebuah nagari tua yang masyhur dengan tenun songket dan ukiran kayunya.
Keduanya ibarat dua saudara yang tumbuh dari akar sejarah yang sama: perniagaan, perjuangan, dan perkembangan Islam di Luhak Agam.
Banyak orang mungkin tak menyangka bahwa jalur yang hari ini menjadi rute wisata populer—Lembah Anai hingga Padang Panjang—dulu adalah panggung pertempuran sengit, tempat lahirnya tokoh-tokoh besar, sekaligus jalur perdagangan antarnagari.
Dan di tengah semua itu, Pandai Sikek memiliki peran yang tak dapat dipisahkan dari berdirinya dan berkembangnya Kota Padang Panjang.
Awal Persinggungan: Belanda Datang, Perlawanan Meletus (Abad ke-19)
Masuknya Belanda ke pedalaman Minangkabau pada awal abad ke-19 langsung menggebrak tatanan sosial Nagari Pandai Sikek dan kawasan Padang Panjang.
Menurut catatan Rusli Amran (1981) “Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang”, Belanda saat itu sedang mencari pos pertahanan untuk menundukkan Kaum Padri yang masih kuat di Luhak Agam.
Maka dibangunlah dua benteng penting:
- Benteng Guguak Malintang di Padang Panjang
- Benteng Guguak Sigandang di Pandai Sikek. Guguak Sigandang terletak di titik strategis yang menghubungkan VI Koto di kaki Merapi-Singgalang—a.k.a poros pergerakan Padri.
Tragedi Guguak Sigandang (1833)
Salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah hubungan kedua wilayah terjadi pada 24 Mei 1833. Patroli Belanda yang dipimpin Letnan Thomson disergap rakyat VI Koto, dan hampir seluruh pasukan gugur. Benteng Guguak Sigandang kemudian dibakar.
Balasan Belanda datang hanya empat hari kemudian. Sebuah ekspedisi dari Padang Panjang berjumlah 500 serdadu menyerbu kampung-kampung VI Koto.
Catatan dari Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1855) menggambarkan adegan yang “teramat kejam”—mulai dari pembakaran rumah gadang berukir (baukie), eksekusi para penghulu, hingga kekerasan terhadap perempuan.
Sebanyak 15 tokoh adat VI Koto dieksekusi, termasuk dari Pandai Sikek dan Koto Laweh.
Peristiwa inilah yang menanamkan luka sejarah mendalam antara masyarakat VI Koto dan kekuasaan kolonial.
Balas Dendam Orang Pandai Sikek di Padang Panjang (1841)
Delapan tahun kemudian, Pandai Sikek tidak tinggal diam. Ditempa dalam latihan ilmu bela diri—bahkan ilmu kebal—di bawah bimbingan Labai Suman, delapan pendekar (Pandeka Dalah, Bapayuang Ameh, Angku Mudo, Payuang Ameh, dan lainnya) menyerang tangsi Belanda di Guguak Malintang, Padang Panjang.
Aksi itu berhasil besar. Menurut cerita turun-temurun, sekitar 50 serdadu Belanda terbunuh. Namun seorang pendekar bernama Mantari Sutan gugur setelah tak sengaja berteriak sehingga “ilmu kebalnya hilang”.
Kisah ini hidup hingga kini sebagai bagian dari folklore perjuangan Minangkabau.
Tokoh-Tokoh Besar Lahir dari Pandai Sikek – dan Mewarnai Padang Panjang
Ikatan antara Padang Panjang dan Pandai Sikek tidak hanya terukir lewat konflik, tetapi juga lewat kelahiran tokoh-tokoh besar yang kemudian berkiprah di Padang Panjang.
1. Syekh Muhammad Yunus (1846–1906)
Ulama besar, ahli falak, qadhi Padang Panjang, dan pimpinan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Beliau adalah ayah dari dua tokoh monumental:
Zainuddin Labay El-Yunusy, pendiri Sumatra Thawalib
Rahmah El-Yunusiyah, pendiri Diniyah Putri (sek. 1923), lembaga pendidikan perempuan pertama di Indonesia
Perjalanan hidupnya memperlihatkan bagaimana aliran intelektual dari Pandai Sikek memperkuat identitas Padang Panjang sebagai kota pendidikan Islam.
2. Angku Septiandi Sutan Bandaro
Kepala Stasiun Kereta Api Padang Panjang pertama (dibuka 1891), yang menjadi simpul transportasi penting jalur tambang batu bara Sawahlunto–Teluk Bayur.
3. dr. Wahab
Putra Pandai Sikek, tercatat sebagai salah satu dokter pribumi pertama pada masa Hindia Belanda.
4. Palin Sutan Alamsyah
Birokrat Hindia Belanda yang setelah kemerdekaan ditunjuk menjadi Bupati Tanah Datar pertama (1945).
Deretan nama ini menunjukkan bahwa mobilitas sosial dan peran intelektual Pandai Sikek sangat besar bagi Padang Panjang.
Bagaimana Padang Panjang Muncul Menjadi Kota?
Meskipun status kota baru ditetapkan kolonial Belanda pada 1888, pemukiman di kawasan Padang Panjang sudah hidup ratusan tahun sebelumnya.
Pasar: Cikal bakal Kota Padang Panjang
Sekitar 1818, pakan (pasar) Akaik yang sebelumnya berada di Baruah Pandai Sikek dipindahkan ke Padang Panjang oleh Tuanku Mansiangan. Pasar ini kemudian dikenal sebagai Pakan Jumat Padang Panjang.
Pasar inilah yang menjadi embrio kawasan perdagangan yang berkembang menjadi kota.
Fasilitas Air Minum Tahun 1790
Temuan arsip menunjukkan bahwa pada 1790 sudah ada instalasi air minum yang melayani penduduk Padang Panjang—indikasi kuat bahwa kawasan ini sudah berkembang layaknya sebuah kota.
Karena itu, pada 2004 Pemerintah Kota menetapkan:
1 Desember 1790 sebagai Hari Jadi Kota Padang Panjang
Tanggal tersebut menggabungkan dua peristiwa:
✔ temuan bukti fasilitas kota tertua (1790)
✔ penetapan kolonial sebagai ibu kota Afdeeling Batipuh en X-Koto (1 Desember 1888)
Keputusan ini disahkan melalui Perda No. 17 Tahun 2004.
Padang Panjang dalam Struktur Hindia Belanda
Awal abad ke-20, Lembaran Negara (Staatsblad) 1905 mencatat Padang Panjang sebagai ibu kota Afdeeling Batipoeh en X Koto, lengkap dengan susunan Lareh (kecamatan adat), para datuk, dan pejabat kolonial seperti:
- Asisten Residen: FWL de Nijs
- Ketua Landraad: Mr. P.N. van der Stok
- Kepala Laras VI Koto: Umin Dt. Rajo Katib dari Pandai Sikek
Catatan-catatan administrasi ini mempertegas bahwa Padang Panjang dan Pandai Sikek selalu berada dalam satu geografi politik yang sama.
Mengapa Hubungan Ini Penting?
Padang Panjang dan Pandai Sikek bukan sekadar bertetangga. Mereka:
- Berbagi sejarah perjuangan — dari Perang Padri hingga perlawanan terhadap Belanda
- Terhubung melalui ekonomi dan mobilitas sosial — pasar, jalur dagang, dan migrasi
- Berjalin lewat tokoh-tokoh pendidikan, ulama, dan birokrat
- Memiliki akar budaya dan nilai adat yang serupa
- Saling menguatkan sebagai pusat budaya Minangkabau bagian Agam–Tanah Datar
- arus pelajar yang bolak-balik antara Padang Panjang dan Pandai Sikek
- kegiatan budaya (silek, ukir, tenun)
- jaringan keluarga dan suku
- perdagangan wisata dan ekonomi kreatif



