Suluah.id - Di era ketika sebagian besar waktu kita dihabiskan di layar ponsel, dinamika mental pun ikut bergerak, perlahan, tapi nyata. Kita hidup di zaman ketika satu ketukan jempol bisa memberi validasi—atau justru melahirkan luka psikologis baru.
Bagi generasi digital, media sosial bukan sekadar ruang hiburan: ia adalah panggung, ruang perbandingan, bahkan medan perang dengan diri sendiri.
Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite (2024), rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam sehari hanya untuk berselancar di media sosial. Cukup lama untuk membuat otak kita memaknai interaksi digital sebagai kenyataan baru.
Dan di balik gambar estetik, prestasi instan, hingga kalimat motivasi berseliweran di timeline, banyak orang sesungguhnya menyimpan luka yang mungkin tidak pernah terucap.
Para psikolog menyebutnya sebagai “wounds of digital age”—luka yang tumbuh tanpa kita sadari.
Berikut lima luka psikologis yang kini banyak dialami generasi digital.
1. Luka Perbandingan
Aku melihat hidup orang lain—dan lupa mencintai hidupku sendiri.
Fitur “scroll” di media sosial bisa jadi adalah penemuan sederhana yang membawa dampak besar. Dari video liburan ke Eropa, ulang tahun mewah, sampai perjalanan karier orang lain, semua terhidang di depan mata.
Ketika cerita orang lain tampak sempurna, tanpa sadar kita bertanya, “Kenapa hidupku tidak seperti dia?”
Menurut penelitian University of Pennsylvania (2022), penggunaan media sosial yang intens dapat meningkatkan gejala depresi dan kecemasan akibat social comparison—kebiasaan membandingkan hidup sendiri dengan orang lain.
Padahal, timeline adalah etalase, bukan kehidupan seutuhnya. Kita membaca highlight orang lain tanpa tahu prosesnya. Namun otak melihatnya sebagai kenyataan, bukan potongan cerita.
2. Luka Pengabaian
Pesan tidak dibalas, hati langsung merasa ditolak.
Bagi sebagian orang, balasan chat bukan hanya sekadar teks: itu tanda dihargai atau tidak. Ketika pesan dibiarkan centang biru atau hanya dibaca tanpa balasan, otak memaknai itu sebagai penolakan sosial.
Dalam psikologi, respons ini disebut “social rejection sensitivity”. Studi dari Journal of Social Psychology (2021) menunjukkan bahwa notifikasi yang diabaikan dapat memicu lonjakan hormon stres.
Di era digital, keheningan bukan sekadar diam—ia adalah trigger. Kita merasa tidak penting, padahal mungkin teman kita hanya sibuk, lupa, atau sedang istirahat dari ponsel.
3. Luka Kualitas Diri
Seolah nilai hidup bisa diukur angka.
Generasi digital tumbuh dalam sistem rating: jumlah follower, likes, komentar, portofolio, hingga saldo rekening. Akhirnya, nilai diri dinilai dari apa yang terlihat, bukan apa yang melekat di dalam diri.
Menurut American Psychological Association (APA, 2023), remaja dan dewasa muda kini lebih rentan mengalami krisis identitas karena tekanan untuk terus menunjukkan pencapaian.
Padahal, esensi diri bukan sekadar angka. Nilai diri tumbuh dari karakter, pengalaman, sikap, empati, kemampuan bertahan, dan proses panjang yang tidak pernah terekam kamera.
4. Luka Finansial Mental
Takut miskin di era yang serba membandingkan.
Di tengah arus pesan motivasi tentang kesuksesan finansial dan “harus kaya sebelum usia 25”, ketakutan akan kemiskinan ikut tumbuh dalam kepala anak muda. Rasa takut ini bukan sekadar kekhawatiran, tapi berubah menjadi kecemasan berlebihan.
Akibatnya muncul berbagai respons psikologis: kerja berlebihan tanpa henti, kelelahan mental (burnout), belanja impulsif untuk merasa “berharga”, bahkan sabotase diri karena merasa tidak mampu mengejar standar.
Istilah “mental poverty” digunakan sejumlah psikolog di Asia untuk menggambarkan fenomena ini: miskin secara mental bahkan sebelum benar-benar miskin secara finansial. Sebuah ketakutan yang lahir dari standar yang dibentuk media sosial.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kabar baiknya, luka ini bukan akhir. Menurut banyak ahli psikologi modern, kesadaran adalah langkah pertama penyembuhan. Kita bisa mulai dengan hal sederhana:
- Batasi waktu berselancar di media sosial
- Kurangi konten yang memicu perbandingan
- Fokus pada proses, bukan hasil instan
- Latih syukur terhadap hal-hal kecil
- Sadari bahwa validasi terbaik datang dari diri sendiri
- Gunakan media sosial sebagai alat, bukan cermin nilai diri
Karena pada akhirnya, di balik layar kaca, ada manusia dengan proses hidup masing-masing. Kita semua berjalan di jalur yang berbeda, tidak selalu bisa dibandingkan.
Menutup Timeline, Merawat Diri
Bagi generasi digital, dunia maya dan nyata memang sudah menyatu. Tapi hidup tidak pernah sesempurna filter.
Jika kita berhenti sejenak dan menutup layar, kita akan menemukan sesuatu yang tidak bisa diberikan media sosial: kehadiran, ketenangan, dan diri sendiri yang jauh lebih utuh.
Mungkin, itulah jalan pulang dari luka-luka yang tidak terlihat.
(*)



