Iklan

Ketika Jari Lebih Tajam dari Lisan: Belajar Diam di Era Digital

25 Desember 2025, 17:20 WIB


Suluah.id - Di zaman ini, berbicara tak lagi harus bersuara. Ia cukup berwujud ketikan. Jari menari di atas layar, notifikasi berdenting, pesan terkirim—dan dunia seolah langsung tahu isi kepala kita.

Media sosial, grup percakapan, dan kolom komentar menjadikan setiap orang punya mimbar. Siapa pun bisa bersuara, kapan pun, tanpa perlu menatap wajah lawan bicara. Di satu sisi, ini kemajuan. Tapi di sisi lain, di sinilah kegaduhan batin pelan-pelan bermula.

Kata-kata yang dulu disaring lewat tatap muka, kini sering dilepas tanpa jeda. Emosi yang belum reda ikut terkirim bersama pesan. Ruang digital pun berubah menjadi ladang salah paham—sunyi dari suara, tapi ramai oleh luka yang tak terlihat.

Tak heran, banyak relasi hari ini rapuh. Mudah tersinggung. Cepat berprasangka. Hangatnya empati sering kalah oleh dinginnya layar.

Diam yang Bukan Kosong


Dalam kegaduhan semacam ini, pesan tentang diam justru terasa relevan. Saiful Auliya pernah mengingatkan, Ucapan tertinggi adalah diamnya lisan dengan bicaranya hati.”

Di era digital, makna diam bukan lagi sekadar menutup mulut, melainkan menahan jari. Memberi jarak antara rasa dan respons. Tidak tergesa membalas. Tidak merasa harus selalu hadir di setiap perdebatan.

Psikolog komunikasi menyebut jeda ini sebagai emotional regulation—kemampuan menunda respons agar emosi tidak mengambil alih keputusan. Studi dalam Journal of Behavioral Sciences menunjukkan bahwa reaksi impulsif di ruang digital sering memicu konflik berkepanjangan, sementara respons yang tertunda cenderung lebih konstruktif.

Diam, dalam konteks ini, bukan kalah. Ia justru tanda kendali diri.

Dunia yang Terlalu Singkat untuk Bertengkar


Pesan serupa pernah disampaikan oleh Hasan al-Bashri. Ia mengingatkan bahwa dunia hanyalah tiga hari: kemarin yang telah berlalu, hari ini yang sedang dijalani, dan esok yang belum tentu datang.

Namun di ruang digital, seolah kita lupa. Perdebatan diperpanjang. Luka dipelihara. Perselisihan disimpan dan diwariskan dari satu unggahan ke unggahan lain, seakan esok pasti milik kita.

Padahal, hari ini adalah satu-satunya waktu yang benar-benar nyata. Menghabiskannya untuk amarah digital sering kali hanya menyisakan lelah—tanpa benar-benar menang apa pun.

Lidah yang Berubah Menjadi Teks


Berabad-abad lalu, Imam Al Ghazali sudah mengingatkan: lidah itu kecil dan ringan, tapi dampaknya bisa menjulang. Ia mampu mengangkat martabat, atau menjatuhkan manusia ke jurang kehinaan.

Hari ini, lidah itu menjelma teks. Dampaknya bahkan lebih luas. Satu kalimat bisa tersebar dalam hitungan detik, dibaca ribuan orang, dan meninggalkan jejak yang sulit dihapus.

Al-Qur’an menegaskan dalam QS Qaf ayat 18 bahwa tak satu kata pun terucap tanpa dicatat. Dalam konteks kekinian, para ulama kontemporer menegaskan: ketikan pun bagian dari ucapan—ia membawa tanggung jawab moral yang sama.
Pesan Rasulullah SAW pun terasa sangat relevan: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menjadikan Hati sebagai Imam


Barangkali inilah obat dari kegaduhan digital: mengembalikan hati ke posisi imam. Membiasakan jeda sebelum menekan tombol “kirim”. Menimbang bukan hanya benar atau salah, tetapi juga manfaat dan dampaknya.

Dalam etika komunikasi modern, prinsip ini sejalan dengan konsep responsible digital citizenship—menggunakan ruang digital secara sadar, beradab, dan bertanggung jawab.

Diam, dalam pengertian ini, bukan kekosongan. Ia adalah kebijaksanaan. Ruang hening tempat emosi ditenangkan, akal diberi waktu, dan niat diluruskan.
Sebab tak semua yang benar harus diumumkan, dan tak semua yang terasa perlu disampaikan saat itu juga.

Doa di Tengah Riuh


Pada akhirnya, di tengah dunia yang semakin bising oleh kata-kata, diam yang bernilai justru menjadi bentuk ibadah yang sunyi.

Semoga Tuhan melembutkan hati kita sebelum lisan dan jari bergerak. Menjaga kita dari kata-kata yang melukai, dari tulisan yang menyesatkan. Dan menjadikan setiap huruf yang kita ketik sebagai saksi kebaikan—bukan penyesalan.

Karena di era digital ini, barangkali kedewasaan sejati bukan diukur dari seberapa sering kita berbicara, melainkan dari seberapa bijak kita memilih diam.
(*)
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Ketika Jari Lebih Tajam dari Lisan: Belajar Diam di Era Digital

Iklan