Iklan

Ketika Bencana Menyapa: Menghidupkan Kembali Semangat Persaudaraan dan Kepedulian

12 Desember 2025, 08:33 WIB


Suluah.id - Suara sirene ambulan kerap menjadi latar belakang di banyak sudut negeri dalam beberapa bulan terakhir. Gempa bumi mengguncang Aceh, banjir bandang merendam Sumatera Barat dan Sumatera Utara, tanah longsor menutup akses desa-desa terpencil. 

Setiap bencana menyisakan cerita pilu: keluarga yang terpisah, rumah yang rata dengan tanah, atau mata-mata yang kosong menatap masa depan yang belum jelas.

Indonesia memang berada di “ring of fire”, wilayah yang rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 4.700 kejadian bencana sepanjang 2024, mayoritas berupa banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. 

Angka itu mengingatkan bahwa musibah bukan sekadar statistik—ia adalah panggilan kemanusiaan. Dan bagi umat Islam, ia adalah ujian solidaritas serta wujud nyata dari ikatan persaudaraan.

Persaudaraan yang Melampaui Darah dan Identitas


Di tengah deretan kabar duka, ajaran Islam kembali menemukan relevansinya. Islam tidak pernah memosisikan dirinya sebagai agama yang hanya berkutat pada ibadah ritual. Ia hadir sebagai panduan sosial yang meneguhkan bahwa persaudaraan adalah nafas kehidupan beragama.

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
“…orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain…” (QS. At-Taubah: 71)

Kalimat ini seolah mengingatkan bahwa ketika satu bagian tubuh terluka, bagian lain ikut merasakan sakit. Persaudaraan itu tidak dibatasi suku, daerah, atau garis keturunan—melainkan iman yang menyatukan hati.
Allah juga berpesan:
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan…” (QS. Al-Maidah: 2)

Pesan ini kuat: menolong bukan sekadar pilihan, tetapi kewajiban moral dan spiritual.

Nabi Muhammad SAW dan Etika Kepedulian


Lebih dari 1.400 tahun lalu, Rasulullah SAW telah memperingatkan umatnya agar tidak saling membiarkan dalam kesulitan. Dalam hadis riwayat Muslim, beliau bersabda:
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzaliminya, tidak boleh menelantarkannya, dan tidak boleh merendahkannya.”

Makna “tidak menelantarkan” yang dijelaskan ulama seperti Imam An-Nawawi menunjukkan bahwa membiarkan seseorang dalam kesulitan padahal kita mampu membantu adalah tindakan yang dilarang.

Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal, Allah menggambarkan betapa pentingnya hadir bagi mereka yang sakit, haus, atau kesusahan—sebuah analogi ilahi yang memuliakan manusia yang menderita.

Menjenguk mereka, memberi makan, atau sekadar hadir, dinilai sebagai upaya mendekat kepada Tuhan.
Janji-Nya pun jelas:
Allah akan terus menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Di sinilah ajaran Islam berpadu indah dengan nilai universal kemanusiaan—keduanya bertemu dalam tindakan nyata.

Bencana Adalah Ujian, Solidaritas adalah Jawaban


Musibah datang tanpa permisi. Tetapi bagaimana masyarakat meresponsnya adalah cerminan karakter dan nilai yang dianut.

Para ahli sosial mencatat bahwa salah satu kekuatan masyarakat Indonesia adalah gotong royong, tradisi turun-temurun yang kini menemukan wadah barunya dalam berbagai gerakan sosial, dari dapur umum relawan, crowdfunding, hingga komunitas pemuda yang bergerak spontan ketika bencana terjadi. Lembaga-lembaga seperti Baznas, Lazismu, Dompet Dhuafa, dan berbagai filantropi lainnya telah menyalurkan bantuan dari masyarakat secara masif.

Bentuk kepedulian yang dianjurkan agama pun sangat konkret:

1. Bantuan Material dan Logistik
Pangan, air bersih, pakaian, selimut, obat-obatan—semuanya adalah kebutuhan mendesak bagi para penyintas bencana. Penyaluran zakat dan sedekah melalui lembaga resmi menjadi saluran aman dan tepat sasaran.

2. Dukungan Psikososial
Para korban tidak hanya kehilangan barang, tetapi juga trauma, rasa takut, dan kehilangan arah. Kehadiran, sapaan hangat, atau sekadar telinga yang mau mendengar, adalah bentuk sedekah emosional yang sangat dibutuhkan.

3. Menjaga Lingkungan
Sebagian bencana adalah konsekuensi dari ulah manusia. Studi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa kerusakan hutan dan alih fungsi lahan memperbesar risiko banjir dan longsor. 

Islam sendiri melarang merusak lingkungan dan menganjurkan konservasi. Maka, mengurangi kerusakan alam juga merupakan bagian dari ibadah sosial.

4. Membela yang Tertindas
Musibah tidak hanya berupa bencana alam. Di Palestina, misalnya, krisis kemanusiaan terus berlangsung. Solidaritas global melalui doa, bantuan, dan kampanye damai adalah wujud komitmen terhadap nilai keadilan yang diajarkan agama.

Ketika Saudara Kita Terjatuh, Kita Mengulurkan Tangan


Di akhir, Al-Qur’an kembali memberi penegasan:
Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara…” (QS. Al-Hujurat: 10)

Kalimat itu sederhana, tetapi memiliki bobot yang luar biasa. Bencana bukan hanya menguji mereka yang tertimpa, tetapi juga menguji kita yang masih diberi keselamatan: apakah kita akan tinggal diam atau bergerak? Apakah kita akan membiarkan atau membantu?

Setiap donasi, setiap doa, setiap langkah kecil menuju kebaikan—semuanya adalah bukti bahwa persaudaraan itu masih hidup.

Semoga mereka yang sedang diuji diberi ketabahan, dan semoga kita yang selamat diberi kekuatan untuk menjadi bagian dari solusi. Karena pada akhirnya, menolong orang lain adalah jalan kembali menemukan kemanusiaan dalam diri kita sendiri.
(*)
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Ketika Bencana Menyapa: Menghidupkan Kembali Semangat Persaudaraan dan Kepedulian

Iklan