Iklan

Menjemput Hari Esok, Menjadi Manusia yang Terus Bertumbuh

16 November 2025, 12:44 WIB


Suluah.id - Saat lantunan takbir dan syahadat mulai terdengar, ada getaran yang sulit dijelaskan—sebuah pengingat bahwa hidup bukan sekadar rutinitas yang berulang setiap hari. 

Di tengah udara yang khusyuk, ada pesan sederhana namun terasa begitu menampar: hari esok harus lebih baik dari hari ini.

Pesan itu terdengar akrab, tetapi justru sering kita abaikan. Kita sibuk mengejar banyak hal, namun lupa mengevaluasi apa yang sebenarnya sedang kita bangun: jalan menuju masa depan, dunia dan akhirat.

Pesan tersebut merujuk pada firman Allah dalam QS. Al-Hasyr ayat 18—ayat yang sering kita dengar, tetapi jarang kita renungkan secara mendalam:
Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok…”

Para ahli tafsir seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi menjelaskan bahwa “hari esok” dalam ayat itu bukan sekadar rencana jangka pendek, melainkan merujuk pada kehidupan abadi—akhirat. 

Namun, pesan spiritual ini tidak berhenti pada ranah ibadah saja. Ia mendorong kita menata ulang cara kita hidup di dunia: lebih disiplin, lebih peduli, lebih bermanfaat.

Hidup yang Terburu-buru, Iman yang Mudah Luntur


Dunia hari ini bergerak begitu cepat. Informasi datang dari semua arah, godaan mengalir tanpa henti. Dalam hadis sahih riwayat Muslim, Rasulullah menggambarkan fitnah akhir zaman seperti “malam yang gelap gulita”—gelap hingga sulit membedakan mana yang benar dan mana yang menjerumuskan.

Di media sosial, opini bisa berubah dalam hitungan menit; begitu pula iman seseorang. Fenomena fear of missing out, budaya pamer, hingga tekanan gaya hidup membuat banyak orang justru kehilangan pijakan spiritualnya. 

Data survei beberapa lembaga riset keagamaan di Indonesia juga menunjukkan tren penurunan durasi ibadah harian di kalangan anak muda, meski tingkat religiusitas mereka secara identitas masih tinggi.

Di titik inilah pesan khutbah itu terasa relevan. Ketakwaan bukan hanya urusan masjid, tetapi juga bagaimana kita mengelola tekanan hidup, membatasi konsumsi media, menjaga prinsip, dan tetap waras menghadapi derasnya distraksi modern.

Kecerdasan Sejati: Menundukkan Nafsu, Bukan Menaklukkan Dunia


Hadis Rasulullah yang diriwayatkan Tirmidzi menyebut bahwa orang cerdas adalah mereka yang mampu menundukkan hawa nafsu dan memikirkan kehidupan setelah mati. 

Konsep kecerdasan versi Nabi ini terasa begitu “kontra-mainstream” dengan gaya hidup sekarang yang sering mengukur kesuksesan dari hal-hal lahiriah: gaji tinggi, jabatan, gaya hidup glamor.

Namun, jika kita cermati lebih dalam, konsep itulah yang sesungguhnya melahirkan kebijaksanaan. Orang tua yang cerdas menabung untuk pendidikan anaknya jauh sebelum mereka lahir.

Pemimpin yang cerdas memikirkan masa depan bangsanya. Dan seorang muslim yang cerdas menjadikan setiap aktivitas—termasuk pekerjaan dan hobi—sebagai ladang amal yang membawa manfaat panjang.

Dalam tradisi Islam klasik, ulama sering menyebut istilah muhasabah atau evaluasi diri. Imam Al-Ghazali menulis bahwa muhasabah adalah “timbangan batin” yang melatih kita agar tidak terjebak dalam delusi pencapaian yanistilah

Umur yang Singkat, Bekal yang Terbatas


Rasulullah bersabda bahwa usia umatnya berkisar antara 60–70 tahun. Angka itu juga selaras dengan data BPS tentang rata-rata usia harapan hidup masyarakat Indonesia saat ini (73 tahun). Dengan umur yang tidak panjang ini, setiap tahun—bahkan setiap hari—harus berarti. 

Kita mungkin tak bisa memperpanjang umur, tetapi kita bisa memperluas manfaatnya.

Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi hanya menyebut tiga hal yang tetap mengalir setelah kita tiada:
  • Sedekah jariyah,
  • Ilmu yang bermanfaat,
  • Anak shaleh yang mendoakan.

Jika dipikirkan, tiga hal ini adalah investasi jangka panjang yang sejalan dengan pembangunan keluarga dan masyarakat. Pendidikan, literasi, filantropi, dan peran keluarga kembali menjadi fondasi sosial umat.

Generasi yang Kuat Tidak Terbentuk Secara Instan


Salah satu ayat yang diangkat dalam khutbah adalah QS. An-Nisa’ 9, yang mengingatkan agar kita tidak meninggalkan “generasi yang lemah.” Ayat ini sering dikutip para pakar pendidikan keluarga. 

Dalam kajian parenting Islam modern, seperti yang banyak disampaikan oleh Prof. Muhammad Quraish Shihab, generasi yang kuat bukan sekadar kuat iman, tetapi juga kuat mental, ilmu, dan ekonomi. 

Di era teknologi dan persaingan ketat hari ini, kekuatan itu semakin vital. Keluarga harus menjadi ruang aman untuk berkembang, bukan hanya untuk bertahan hidup. 

Lingkungan masyarakat pun memegang peran penting: dari kualitas masjid, taman bacaan, hingga ruang publik yang mendukung kegiatan positif anak muda.

Menapaki Jalan Hidup dengan Perspektif yang Lebih Jernih


Kembali kita diingatkan bahwa dunia ini tidak lebih dari permainan dan senda gurau, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hadid ayat 20. Bukan berarti kita harus menjauhi dunia, tetapi kita diminta untuk tidak tertipu olehnya.

Dalam literatur keislaman kontemporer, para cendekiawan seperti Hamka hingga Tariq Ramadan sering menekankan bahwa kehidupan dunia justru harus menjadi “laboratorium kebaikan”, ruang untuk menjadi manusia yang lebih matang, lebih peduli, dan lebih sadar tujuan.

Saatnya Menjemput Hari Esok yang Lebih Baik


Maka, pesan yang terdengar sederhana itu sejatinya merupakan agenda hidup yang besar. Kita ditantang untuk:
  • memperbaiki salat,
  • menambah ilmu walau sedikit,
  • memperhalus akhlak,
  • lebih tulus melayani keluarga,
  • dan memberi manfaat lebih bagi masyarakat.

Jika setiap hari ada perbaikan kecil, hidup kita akan menjadi perjalanan yang terarah—bukan sekadar rutinitas yang berputar tanpa tujuan.

Doa yang paling sering kita baca mungkin sudah merangkum semuanya:
“Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar.”

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkan kami dari siksa neraka.

Kadang kita lupa: doa itu bukan hanya permintaan, tetapi juga komitmen. Komitmen untuk bergerak menuju kebaikan, hari demi hari.(*) 
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Menjemput Hari Esok, Menjadi Manusia yang Terus Bertumbuh

Iklan