Suluah.id - Malam sudah lewat tengah. Udara terasa dingin, tapi suasana batin seorang lelaki di masa lampau justru menyala. Dalam sunyi yang hanya ditemani cahaya bintang, Umar bin Khattab—seorang khalifah agung yang disegani seluruh jazirah Arab—memukul kedua kakinya dengan cambuk kecil.
Bukan karena marah pada orang lain. Tapi karena ingin menegur dirinya sendiri.
“Apa yang telah engkau perbuat hari ini, wahai Umar?”
Satu kalimat pendek yang menembus ruang waktu. Sebuah pertanyaan sederhana, tapi cukup mengguncang dasar kesadaran manusia hingga kini.
Seni Bertanya pada Diri Sendiri
Dalam tradisi Islam, sikap seperti itu disebut muhasabah—introspeksi diri. Sebuah kebiasaan yang bukan hanya milik orang saleh di masa lalu, tapi juga relevan di era modern ini.
Ulama klasik seperti Maimun bin Mahran pernah berpesan:
“Seorang hamba tidak akan menjadi golongan muttaqin hingga ia menghisab dirinya lebih keras daripada ia menghisab mitra usahanya.”
Pesan ini terdengar sederhana, tapi kalau direnungkan, amat dalam maknanya.
Dalam urusan bisnis, manusia bisa begitu teliti menghitung untung rugi. Tapi dalam urusan hati dan amal, sering kali kita biarkan berlalu begitu saja—tanpa laporan, tanpa catatan.
Padahal, waktu yang lewat adalah modal. Setiap langkah, setiap ucapan, bahkan setiap tarikan napas, punya nilainya sendiri di hadapan Allah.
Kisah Para Hati yang Jujur
Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat dekat Nabi, bahkan di detik-detik menjelang wafat masih meninjau ulang ucapannya sendiri.
Saat ia berkata kepada putrinya, Aisyah, “Tidak ada orang yang lebih aku cintai daripada Umar,” ia berhenti. Lalu memperbaikinya:
“Tidak ada orang yang lebih aku hormati selain Umar.”
“Tidak ada orang yang lebih aku hormati selain Umar.”
Sebuah koreksi kecil yang mencerminkan kejernihan hati luar biasa. Ia sadar, cinta dan hormat memiliki makna yang berbeda.
Kejujuran seperti ini hanya lahir dari jiwa yang senantiasa menimbang kebenaran, bahkan dalam hal sekecil kata-kata.
Begitu juga Abu Thalhah. Saat shalatnya terganggu oleh seekor burung yang beterbangan di kebunnya, ia tidak mencari pembenaran. Justru ia menyedekahkan kebun itu—sebagai tebusan atas kelalaian hatinya.
Begitu juga Abu Thalhah. Saat shalatnya terganggu oleh seekor burung yang beterbangan di kebunnya, ia tidak mencari pembenaran. Justru ia menyedekahkan kebun itu—sebagai tebusan atas kelalaian hatinya.
Bayangkan, seandainya setiap distraksi dalam hidup modern ini—scroll media sosial, obrolan kosong, ambisi duniawi—kita tanggapi dengan kesadaran sepeka itu, betapa jernihnya hati kita.
Dari Zaman Khalifah ke Dunia Modern
Psikologi modern sebenarnya punya istilah lain untuk muhasabah: self-reflection atau mindfulness.
Riset dari Harvard University (2018) menunjukkan, meluangkan waktu setiap hari untuk refleksi diri meningkatkan kesejahteraan mental dan membantu seseorang membuat keputusan yang lebih bijak.
Bahkan dunia bisnis pun kini mengajarkan daily journaling—menuliskan hal-hal yang disyukuri dan dievaluasi setiap malam.
Artinya, apa yang dilakukan Umar bin Khattab 14 abad lalu bukan sekadar ritual keagamaan, tapi praktik self-awareness tingkat tinggi—yang kini terbukti secara ilmiah memberi efek positif bagi kesehatan mental dan spiritual.
Waktu untuk Menepuk Diri Sendiri
Mungkin, kita pun perlu meniru Umar.
Bukan dengan cambuk, tapi dengan kesadaran.
Tiap malam, sebelum tidur, cobalah bertanya lembut pada diri sendiri:
“Apa yang sudah aku lakukan hari ini untuk diriku, untuk sesamaku, dan untuk Tuhanku?”
Pertanyaan ini bisa jadi sederhana, tapi dari sanalah perubahan besar bisa berawal. Karena muhasabah bukan tentang menghakimi diri, melainkan mengasihi diri—agar lebih baik, lebih sadar, lebih hidup.
Ketika Hati Menemukan Ketenteramannya
Dan bila suatu saat, setelah muhasabah, hati terasa damai… mungkin itu tanda panggilan lembut dari Tuhan telah menyapa.
Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Fajr ayat 27–28:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai.”
Pada akhirnya, muhasabah bukan sekadar ritual malam yang sunyi,
melainkan cara paling manusiawi untuk tetap waras di tengah bisingnya dunia—
sebuah seni untuk menepuk diri sendiri, dengan kasih, bukan marah.
(*)



