Suluah.id - Setiap kali membaca Surah Ar-Rahman, ada satu kalimat yang terus berulang dan menancap di hati:
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Ayat yang terulang 31 kali ini seperti gema lembut yang mengetuk kesadaran manusia—tentang betapa banyak karunia Allah yang sering kita abaikan.
Salah satunya tersimpan dalam rangkaian ayat 17 hingga 30, di mana keindahan bahasa Al-Qur’an berpadu dengan keajaiban alam yang kini terbukti secara ilmiah.
Dua Timur, Dua Barat, dan Kisah Pergeseran Matahari
“Tuhan (yang memelihara) dua tempat terbit matahari dan Tuhan (yang memelihara) dua tempat terbenamnya.” (QS. Ar-Rahman: 17)
Ayat ini sekilas sederhana, tapi jika dicermati, menyimpan pesan astronomi yang menakjubkan. Mengapa disebut “dua” timur dan “dua” barat?
Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), titik terbit dan terbenam matahari tidak pernah sama setiap harinya.
Ia bergeser secara perlahan di sepanjang garis ekliptika, menciptakan perubahan musim dan panjang siang malam.
Fenomena ini yang melahirkan musim semi, panas, gugur, dan dingin di berbagai belahan bumi.
Dalam tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa istilah “dua timur dan dua barat” juga menggambarkan perbedaan posisi matahari antara musim dingin dan panas — sebuah bentuk keseimbangan kosmis yang diatur dengan presisi.
Bayangkan bila matahari berhenti bergerak? Tak akan ada pergantian musim, tak ada waktu panen, bahkan mungkin kehidupan akan terhenti.
Di balik terbit dan terbenamnya matahari, ternyata tersimpan pelajaran tentang disiplin dan keteraturan ilahi.
Ketika Dua Laut Bertemu Tapi Tak Bercampur
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu. Di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” (QS. Ar-Rahman: 19–20)
Fenomena ini bukan hanya metafora spiritual.
Ilmu pengetahuan modern telah membuktikannya melalui penelitian oseanografi.
Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), pertemuan dua massa air laut dengan tingkat salinitas dan suhu yang berbeda — misalnya di Selat Gibraltar atau Teluk Alaska — memang menciptakan lapisan pembatas alami yang disebut halocline.
Di batas itu, air tidak bercampur sempurna karena perbedaan densitas dan tekanan.
Ilmuwan Prancis Jacques Cousteau, dalam eksplorasinya pada 1970-an, mengabadikan fenomena “dua laut yang tak bercampur” ini di film dokumenternya. “Subhanallah,” ucap banyak orang ketika menyadari bahwa ayat yang turun 14 abad silam ini menggambarkan hal yang baru terbukti di era modern.
Mutiara, Marjan, dan Kekayaan Tak Terduga di Dasar Laut
“Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” (QS. Ar-Rahman: 22)
Laut bukan hanya sumber keindahan, tetapi juga sumber ekonomi dan perhiasan dunia.
Indonesia, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), merupakan salah satu penghasil mutiara laut selatan terbaik di dunia, terutama dari perairan Nusa Tenggara Barat dan Papua.
Indonesia, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), merupakan salah satu penghasil mutiara laut selatan terbaik di dunia, terutama dari perairan Nusa Tenggara Barat dan Papua.
“Lautan bukan hanya ruang hidup ikan, tapi juga sumber kehidupan manusia,” kata Dr. Widodo Pranowo, pakar oseanografi BRIN.
Ayat ini menjadi pengingat bahwa rezeki tak selalu datang dari daratan; terkadang, ia berkilau di dasar samudra.
Kapal Raksasa di Lautan: Gunung yang Berlayar
“Dan milik-Nya lah kapal-kapal yang berlayar di lautan bagaikan gunung-gunung.” (QS. Ar-Rahman: 24)
Di zaman Rasulullah, kapal mungkin hanya berlayar dengan layar dan angin. Tapi kini, lautan dipenuhi kapal raksasa setinggi gedung, yang membawa logistik, bahan bakar, hingga makanan ke berbagai penjuru dunia.
Ayat ini terasa hidup setiap kali kita melihat kapal kargo raksasa di pelabuhan — bukti nyata betapa laut telah “ditundukkan” untuk memudahkan kehidupan manusia.
Refleksi: Semua Akan Kembali Kepada-Nya
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26–27)
Ada keindahan sekaligus kesadaran dalam ayat ini. Segala yang megah—gunung, laut, mutiara, bahkan teknologi modern—akan musnah. Yang kekal hanyalah Allah, Sang Pencipta.
Ayat ini menuntun kita untuk tidak sekadar takjub pada ciptaan, tapi juga takjub pada Sang Pencipta.
Saat Ilmu Menyatu dengan Iman
Surah Ar-Rahman bukan sekadar puisi keagungan Tuhan. Ia adalah undangan untuk merenungi ayat-ayat alam — dari pergeseran matahari hingga pertemuan dua laut.
Ketika sains membuktikan kebenaran ayat-ayat itu, keimanan kita justru semakin kuat.
Setiap embusan angin laut, setiap sinar matahari pagi, dan setiap detak jantung kita adalah nikmat.
Pertanyaannya:
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(*)
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(*)