Suluah.id - Di sebuah panti asuhan kecil di pinggiran kota, seorang anak bernama Rani (8) kerap menatap kosong ke arah pintu setiap sore.
Harapannya sederhana: ada yang datang sekadar menanyakan kabar atau menemaninya belajar. Rani adalah satu dari jutaan anak yatim di Indonesia.
Menurut data Kementerian Sosial, jumlah anak yatim/piatu dan anak terlantar di negeri ini mencapai lebih dari 4,2 juta jiwa (2023).
Angka itu bukan sekadar statistik—ia adalah potret masa depan bangsa yang rapuh bila tak kita rangkul bersama.
Menyantuni anak yatim sering kali dipersepsikan sebatas memberi uang atau sembako. Padahal, maknanya jauh lebih luas: tentang perhatian, pengasuhan, dan jaminan agar mereka tumbuh dengan percaya diri.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim seperti ini di surga,” sambil merapatkan jari telunjuk dan jari tengah (HR. Bukhari).
Bayangkan, kedekatan istimewa dengan Nabi hanya dengan merawat seorang anak yang kehilangan orang tuanya.
Lebih dari Sekadar Sedekah
Menyantuni yatim sejatinya adalah “sedekah rasa”. Tidak hanya transfer materi, tapi juga transfer kasih sayang. Duduk mendengar curhatnya, menyemangatinya saat belajar, atau sekadar menemaninya bermain bisa jadi lebih berharga daripada segepok uang.
Psikolog anak menyebut, kehilangan figur orang tua sejak dini dapat memengaruhi rasa percaya diri dan stabilitas emosi anak. Di sinilah peran penyantun yatim menjadi krusial—mengisi celah emosional yang kosong.
Teladan dari Para Sahabat
Sejarah Islam merekam bagaimana para sahabat menempatkan anak yatim sebagai prioritas. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, menjadikan pengurusan janda dan anak yatim sebagai kebijakan utama saat menjadi khalifah.
Umar bin Khattab bahkan dikenal turun langsung membantu anak-anak lapar di tengah malam, memasak untuk mereka dengan tangannya sendiri.
Ada pula kisah Ummu Abu Darda, seorang pedagang sukses yang justru menjadikan hartanya sebagai “investasi surga” lewat menyantuni yatim.
Baginya, membantu anak yatim bukan beban, melainkan proyek kebaikan yang keuntungannya abadi.
Hikmah dan Dampak Nyata
Mengasuh dan menyantuni anak yatim bukan hanya soal pahala, tapi juga soal transformasi sosial. Ada lima hikmah besar yang bisa dipetik:
Dekat dengan Nabi dan surga — sebuah janji spiritual yang tak ternilai.
Melembutkan hati — interaksi dengan anak-anak membuat jiwa lebih peka dan penuh kasih.
Mendatangkan rezeki — banyak kisah nyata mereka yang dimudahkan usahanya setelah tulus membantu yatim.
Menyucikan harta dan jiwa — menyadarkan kita bahwa ada hak orang lain dalam rezeki yang kita miliki.
Membangun masa depan bangsa — anak-anak yatim hari ini bisa menjadi dokter, guru, atau pemimpin masa depan bila mendapat kesempatan.
Ajakan yang Hangat
Kita tidak perlu menunggu kaya raya untuk peduli. Senyuman tulus, waktu luang, atau secangkir perhatian pun bisa jadi penyelamat bagi seorang anak.
UNICEF menyebut, anak-anak yang tumbuh tanpa kasih sayang orang tua cenderung menghadapi risiko lebih besar terhadap putus sekolah, eksploitasi, hingga masalah kesehatan mental.
Maka, setiap uluran tangan yang kita berikan bisa jadi perbedaan besar dalam hidup mereka.
Menyantuni yatim, pada akhirnya, bukan hanya tentang mereka—tetapi juga tentang kita. Tentang bagaimana kita ingin dikenang, tentang nilai apa yang ingin kita wariskan, dan tentang bagaimana kita menyiapkan “investasi cinta” yang buahnya akan kita petik di akhirat.
Jadi, jika suatu hari kita bertemu anak seperti Rani yang menunggu pintu dibuka, jangan biarkan pintu itu tetap tertutup.
Buka pintu hati kita, rangkul mereka, dan izinkan diri kita menjadi bagian dari perjalanan indah menuju surga—bersama Nabi tercinta.(*)