suluah.id - Bayangkan sebuah pesta besar, tapi si tuan rumah tidak pernah mengundang tamu utama. Kira-kira begitulah gambaran rencana gencatan senjata 20 poin yang diumumkan Presiden AS Donald Trump untuk Gaza.
Disebut sebagai “kesepakatan bersejarah”, dokumen ini lebih terlihat seperti surat penyerahan tanpa syarat bagi rakyat Palestina.
Alih-alih menawarkan jalan menuju perdamaian, rencana ini justru menimbulkan kecurigaan: apakah ini damai, atau sekadar cara lain mengukuhkan status quo yang merugikan Palestina?
Rencana Tanpa Suara Palestina
Ironisnya, pihak yang paling terdampak justru tidak diajak bicara.
Hamas diberi ultimatum 72 jam untuk menerima kesepakatan tersebut, sementara Otoritas Palestina pun tak diberi ruang.
Dalam skema pasca-perang, Israel tetap dijamin memiliki “kehadiran keamanan” di Gaza.
Sejumlah analis menilai, klausul amnesti bagi anggota Hamas yang menyerah hanyalah cara untuk melucuti perlawanan Palestina.
“Ini bukan kesepakatan damai, melainkan penyerahan diri,” kata seorang pengamat Timur Tengah dari Al Jazeera.
Lebih jauh, dua nama besar di balik dokumen ini juga menimbulkan tanda tanya. Jared Kushner, menantu Trump, dikenal sebagai arsitek Perjanjian Abraham yang mengabaikan hak Palestina.
Sementara Tony Blair, mantan PM Inggris, masih disorot dunia atas perannya dalam invasi Irak 2003.
ISF dan Dilema Indonesia
Yang menarik bagi publik Indonesia: rencana ini membentuk International Stabilization Force (ISF), pasukan internasional yang disebut-sebut akan diisi negara-negara Muslim.
Badan transisi internasional yang dipimpin Trump dan Blair akan menjadi “penguasa” sementara Gaza.
Di titik ini, muncul dilema besar bagi Indonesia. Presiden Prabowo Subianto sempat menyatakan kesiapan mengirim 20.000 pasukan penjaga perdamaian ke Gaza.
Sebuah langkah yang di satu sisi menunjukkan solidaritas, tetapi di sisi lain bisa dibaca sebagai dukungan terhadap skema yang sejak awal cacat keadilan.
“Kalau ISF berdiri dalam kerangka timpang, bukankah pasukan Indonesia justru akan terlihat ikut melanggengkan status quo?” tanya pengamat hubungan internasional dari CSIS.
Potret Jalan Buntu
Secara jangka pendek, gencatan senjata memang bisa menghentikan desingan peluru. Namun, bisakah rencana ini melahirkan perdamaian abadi?
Sejarah konflik Palestina–Israel membuktikan, setiap rencana yang mengabaikan hak dasar rakyat Palestina akan berakhir buntu.
Dari Kesepakatan Oslo (1993) hingga Perjanjian Abraham (2020), jalan yang ditawarkan selalu minim keadilan.
Data PBB mencatat, sejak serangan besar terakhir Israel ke Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 40 ribu warga sipil Palestina tewas dan ratusan ribu lainnya hidup di bawah ancaman kelaparan.
Amnesty International menyebut, tanpa pengakuan kedaulatan penuh, rakyat Palestina akan terus berada dalam lingkaran kekerasan.
Perdamaian yang Sesungguhnya
Rencana Trump barangkali terdengar megah di meja diplomasi, tapi di mata banyak pihak, ini hanyalah potret bagaimana politik global sering kali melupakan prinsip keadilan.
Bagi rakyat Palestina, perdamaian sejati hanya bisa lahir jika ada:
pengakuan hak atas negara merdeka,
jaminan keadilan, dan
kesetaraan antar pihak.
pengakuan hak atas negara merdeka,
jaminan keadilan, dan
kesetaraan antar pihak.
Tanpa itu semua, yang disebut “kesepakatan damai” hanyalah janji kosong.
Dan bagi Indonesia, dilema ini menjadi cermin: bagaimana kita bisa menyalurkan empati dan dukungan bagi Gaza, tanpa terjebak menjadi bagian dari skema yang merugikan mereka?
Seperti pepatah, “damai tidak bisa dipaksakan dari ujung senapan.” Begitu juga dengan Gaza.
Rencana Trump mungkin bisa menghentikan perang untuk sesaat, tetapi jika tidak ada keadilan, yang akan lahir hanyalah generasi baru dengan luka yang sama—dan sejarah pun akan kembali berulang.(*)