suluah.id - Pernah nggak sih, kamu lagi cerita panjang-lebar ke seseorang, tapi belum juga sampai inti cerita, eh, sudah disela: “Ah, itu sih salah kamu sendiri!”
Padahal kita belum selesai menjelaskan. Kadang, bukan cuma teman yang begitu — kita juga, tanpa sadar, sering melakukan hal yang sama ke orang lain.
Fenomena “cepat ngomong, malas dengar” ini kayaknya sudah jadi penyakit sosial masa kini.
Di era media sosial, kita berlomba jadi yang paling cepat berkomentar, paling dulu memberi opini, bahkan kadang merasa wajib ikut nimbrung di setiap isu viral — dari urusan politik sampai gosip selebriti.
Tapi sayangnya, kecepatan itu sering mengalahkan ketepatan. Kita bereaksi dulu, berpikir belakangan.
Padahal, seperti nasihat dari kitab Bihar al-Anwar, “Di antara karakter orang bodoh adalah menjawab sebelum mendengar, menentang sebelum memahami, dan menilai sesuatu tanpa ilmu.”
Kalimat itu seperti tamparan halus — tapi jujur, siapa sih di antara kita yang belum pernah begitu?
Seni Mendengar yang Kian Hilang
Dalam banyak kasus, orang bukan butuh saran, tapi butuh didengarkan. Psikolog Universitas Indonesia, Poppy Amalya, mengatakan, “Kemampuan mendengar aktif membantu seseorang membangun empati dan menghindari kesalahpahaman.”
Artinya, mendengar bukan sekadar diam, tapi menghadirkan diri sepenuhnya.
Nabi Muhammad ﷺ pun memberikan teladan indah soal ini. Suatu hari, seorang Badui masuk masjid lalu kencing di pojok ruangan. Para sahabat langsung marah, tapi Nabi menahan mereka.
Beliau berkata lembut, “Biarkan dia selesai.” Setelah itu, beliau menjelaskan dengan sabar bahwa masjid adalah tempat ibadah, bukan untuk hal seperti itu. Tak ada marah, tak ada hardikan, hanya pemahaman dan kasih.
Sebuah pelajaran bahwa kebijaksanaan bukan di banyaknya kata, tapi pada kesediaan untuk mendengar dan menahan diri.
Diam yang Tidak Kosong
Sering kita salah paham — mengira diam itu tanda kalah, padahal diam bisa jadi tanda kedewasaan. Diam bukan berarti pasif, tapi memberi ruang bagi hati untuk memahami sebelum mulut beraksi.
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Isra: 36,
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.”
Begitu juga sabda Rasulullah ﷺ:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya jelas: sebelum bicara, pastikan kata-kata kita membawa manfaat, bukan justru menambah luka.
Diam, Ilmu, dan Amal
Ulama besar Sufyan Ats-Tsauri pernah bilang, “Awal dari ibadah adalah diam, kemudian mencari ilmu, lalu mengamalkannya.”
Urutannya menarik — karena semua bermula dari diam.
Sebelum belajar, kita butuh menenangkan hati. Sebelum menasihati orang lain, kita perlu mengamalkan dulu.
Begitulah Abu Bakar Ash-Shiddiq — sahabat Nabi yang dikenal sangat berhati-hati dalam berbicara. Ia bahkan pernah memegang lidahnya sambil berkata, “Inilah yang menjerumuskanku.”
Padahal beliau adalah manusia mulia, tapi justru karena kemuliaannya, beliau tahu betapa berbahayanya lisan yang tak dijaga.
Imam Al-Ghazali juga menegaskan, “Ilmu tanpa amal itu kegilaan, dan amal tanpa ilmu itu kesesatan.”
Dua hal ini seperti dua sisi koin. Tak cukup hanya tahu, kita harus melakukan. Tapi sebelum melakukan, kita harus memahami. Dan sebelum memahami, kita harus diam — untuk memberi ruang pada pikiran dan nurani.
Menemukan Hikmah dalam Hening
Rabi’ah Al-Adawiyah, sufi perempuan terkenal, pernah berkata, “Diamlah, sampai kata-katamu menjadi doa, bukan sekadar suara.”
Dalam dunia yang bising oleh notifikasi dan komentar, mungkin inilah nasihat paling relevan hari ini.
Kadang, hening justru cara terbaik untuk menemukan arah. Dalam diam, hati kita lebih jernih. Dalam diam, kita bisa mendengar — bukan hanya suara orang lain, tapi juga suara Tuhan yang membisikkan kebenaran paling halus.
Jadi, sebelum buru-buru mengetik komentar, sebelum menanggapi debat di grup keluarga, atau sebelum memotong pembicaraan orang lain, coba tahan sebentar.
Dengarkan. Pahami.
Karena bisa jadi, hikmah terbesar justru datang dari jeda yang tenang — dari seni mendengar dan diam yang bijak.
(*)
Karena bisa jadi, hikmah terbesar justru datang dari jeda yang tenang — dari seni mendengar dan diam yang bijak.
(*)