Iklan

Belajar dari Pagi: Saat Syukur Jadi Kunci Bahagia

20 Oktober 2025, 09:10 WIB


suluah.id - Ada satu momen kecil yang sering kita abaikan tapi sebenarnya menentukan arah seharian kita: beberapa detik pertama setelah bangun tidur.

Apakah kita menyambut pagi dengan senyum dan rasa syukur, atau justru dengan keluhan yang bahkan belum sempat diseduh dengan kopi?

Imam Al-Junaid, seorang tokoh sufi besar dari Baghdad pada abad ke-9, pernah berpesan dengan kalimat yang menusuk hati:
Barangsiapa yang bangun tidur sambil mengeluh tentang kesulitan rezekinya, maka seolah-olah ia mengeluh tentang Tuhannya. Dan barangsiapa yang bangun tidur sambil bersedih karena urusan dunia, maka seolah-olah ia bangun dalam keadaan tidak ridha kepada Allah.”

Kalimat pendek itu seperti cermin yang memantulkan isi hati.

Betapa sering kita lupa bahwa keluhan kecil di pagi hari—tentang pekerjaan, tagihan, atau bahkan sinyal internet—bisa menjadi tanda bahwa kita belum sepenuhnya ridha pada takdir hidup kita.

Kisah yang Membuka Mata


Coba tengok kisah Abu Dzar al-Ghifari, sahabat Rasulullah ﷺ yang dikenal sangat zuhud. Ia hidup begitu sederhana, nyaris tanpa harta, tapi lisannya tak pernah kering dari ucapan syukur.

Saat perutnya lapar, ia tetap berkata: Alhamdulillah ‘ala kulli hal — segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan.
Kontras sekali dengan kita yang hidup di zaman serba cepat ini.

Sarapan sudah di meja, tapi masih sempat berkeluh, “Kok cuma ini?”

Padahal, bisa jadi yang sederhana itu justru sedang melatih kita untuk melihat nikmat yang lebih besar: rasa cukup.


Sebuah Renungan: Dunia Ini Hanya Persinggahan


Rasulullah ﷺ pun pernah bersabda:
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing, atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari)
Kalimat itu sederhana tapi dalam maknanya.

Dunia bukan tempat menetap. Ia hanyalah tempat singgah, tempat kita belajar, bukan tempat menuntut semua harus sempurna.

Seorang musafir tak akan marah hanya karena tempat beristirahatnya tak mewah, sebab ia tahu tujuannya belum sampai.

Psikolog klinis dari Universitas Indonesia, Dr. Liza Marielly Djaprie, pernah mengatakan dalam wawancaranya dengan Kompas.com, bahwa rasa syukur yang dilatih setiap pagi mampu menurunkan stres dan meningkatkan hormon dopamin—zat kimia yang membuat kita merasa bahagia.

Artinya, memilih bersyukur bukan hanya sikap spiritual, tapi juga terapi emosional yang nyata.


Mengubah Keluhan Jadi Energi Positif


Coba kita tanya diri sendiri:
Pagi ini, apa yang pertama kali kita ucapkan—keluhan atau syukur?
Jika jawabannya “keluhan”, jangan khawatir. Semua orang bisa belajar mengubahnya.

Mulailah dengan hal kecil: ucapkan, Alhamdulillah, aku masih hidup, masih diberi waktu memperbaiki diri.”

Menurut riset Harvard Health Publishing (2021), orang yang menulis atau mengucapkan tiga hal yang disyukuri setiap pagi, cenderung memiliki mood yang lebih stabil dan optimistis sepanjang hari.

Seorang sufi pernah berkata indah:
Orang yang ridha adalah yang tidur dalam kesempitan, tapi bangun dengan hati lapang.”
Mungkin inilah rahasia ketenangan yang sering kita cari jauh-jauh, padahal letaknya di dalam diri: rasa ridha.

Menanam Syukur, Memanen Tenang


Pagi bukan sekadar waktu antara subuh dan matahari terbit. Ia adalah momentum spiritual yang memberi kita pilihan: ingin memulai hari dengan keluhan atau dengan keikhlasan?

Kalau setiap pagi kita biasakan diri membuka mata dengan ucapan syukur, niscaya hidup terasa lebih ringan.

Karena ternyata, yang membuat hidup berat bukan beban dunia—tetapi cara kita memandangnya.

Jadi, sebelum sibuk mengejar rezeki, mungkin ada baiknya kita menyapa Tuhan dulu… dengan ucapan lembut:
Terima kasih, ya Allah, atas pagi ini.”
(*) 
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Belajar dari Pagi: Saat Syukur Jadi Kunci Bahagia

Iklan