Suluah.id - Pernahkah kita berpikir, seberapa banyak harta yang harus dikumpulkan agar merasa cukup?
Atau seberapa tinggi jabatan yang harus dicapai agar dihormati? Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya sering membuat kita tersadar: mungkin bukan kekayaan atau jabatan yang membuat seseorang berharga, melainkan kehormatannya.
Ada satu kalimat bijak dari Ali bin Abi Thalib yang kerap dikutip di banyak forum motivasi maupun renungan spiritual: “Bagianmu yang sesungguhnya dari dunia ini adalah yang memberimu kehormatan diri.”
Kalimat singkat itu seperti mengetuk kesadaran kita bahwa hidup tak selalu soal seberapa banyak yang kita punya, tapi seberapa terhormat cara kita menjalaninya.
Kaya Hati, Bukan Hanya Kaya Harta
Di tengah dunia yang serba kompetitif, manusia mudah tergoda untuk mengejar pencapaian lahiriah.
Namun, menurut hadis Nabi Muhammad ﷺ, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, kebahagiaan dan rasa cukup sejati lahir dari dalam diri, bukan dari saldo rekening.
Psikolog sosial Dr. Brené Brown dalam bukunya “The Gifts of Imperfection” juga menegaskan bahwa harga diri dan rasa layak bukanlah hasil dari validasi eksternal, melainkan dari keberanian hidup dengan nilai dan integritas pribadi.
Psikolog sosial Dr. Brené Brown dalam bukunya “The Gifts of Imperfection” juga menegaskan bahwa harga diri dan rasa layak bukanlah hasil dari validasi eksternal, melainkan dari keberanian hidup dengan nilai dan integritas pribadi.
“Kita kehilangan kehormatan diri setiap kali mencoba menjadi orang lain demi diterima,” tulisnya.
Antara Keuntungan dan Martabat
Ambil contoh sederhana dari kehidupan sehari-hari. Seorang pedagang bisa saja mengambil jalan pintas: menipu timbangan, menaikkan harga tanpa alasan, atau menjual barang palsu.
Sekilas ia untung. Tapi dalam jangka panjang, ia kehilangan kepercayaan—dan lebih dalam lagi, kehilangan rasa hormat terhadap dirinya sendiri.
Sebaliknya, pedagang yang jujur mungkin tak cepat kaya, tapi ia tidur dengan hati tenang. Ia tahu, setiap rupiah yang diperoleh bersih dari kebohongan.
“Integritas itu seperti otot,” kata ekonom dan penulis etika bisnis Larry Johnson. “Semakin sering kita menjaganya, semakin kuat ia terbentuk.”
Nilai yang Tak Lekang oleh Zaman
Kehormatan diri juga bukan sesuatu yang diwariskan atau dibeli. Ia dibangun melalui keputusan-keputusan kecil setiap hari. Saat menolak suap, saat memilih jujur meski pahit, atau ketika tetap sopan walau diserang dengan kata-kata kasar—itulah bentuk kekayaan batin yang tak bisa dinilai dengan uang.
Penelitian Harvard Study of Adult Development, studi terpanjang tentang kebahagiaan manusia yang telah berjalan lebih dari 80 tahun, menyimpulkan bahwa “orang yang paling bahagia dan puas di usia tua adalah mereka yang hidup dengan nilai, hubungan, dan rasa hormat terhadap diri sendiri.”
Bukan karena kekayaan materi, tapi karena kedamaian batin yang lahir dari kehidupan yang bermartabat.
Harta Sejati yang Tak Sirna
Hidup memang memerlukan uang, tetapi uang bukan segalanya. Banyak orang kaya kehilangan tidur karena rasa bersalah, sementara mereka yang sederhana justru tenang karena hidup dengan jujur.
Kehormatan diri, kata pepatah Arab, lebih tinggi nilainya daripada mahkota raja.
Jadi, sebelum mengejar hal-hal besar, mari bertanya pada diri sendiri: Apakah yang kita lakukan hari ini menambah kemuliaan diri atau justru menguranginya?
Sebab, pada akhirnya, bukan gelar atau harta yang dikenang orang, melainkan bagaimana kita menjaga martabat diri.
Kehormatan diri adalah harta yang tak lekang dimakan waktu. Ia mungkin tak tampak mencolok, tapi sinarnya akan selalu memantul di wajah orang-orang yang hidup dengan kejujuran dan integritas.
“Karena yang sejati dari dunia ini bukan apa yang kita miliki, tapi siapa kita ketika semua itu sudah tiada.”
(*)