Suluah.id - Bayangkan hidup di awal abad ke-20, ketika perempuan lebih sering disuruh tinggal di dapur ketimbang berbicara di muka umum.
Namun di tengah keterbatasan itu, seorang perempuan Minang dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, memilih jalan berbeda.
Namanya Rohana Kudus (1884–1972) – dan ia menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia.
Rohana lahir pada 20 Desember 1884, di sebuah nagari yang terkenal melahirkan banyak tokoh pergerakan nasional.
Rohana lahir pada 20 Desember 1884, di sebuah nagari yang terkenal melahirkan banyak tokoh pergerakan nasional.
Ia hidup di zaman ketika kesempatan perempuan untuk sekolah masih langka. Tetapi justru keterbatasan itu membuatnya makin berani. Rohana dikenal cerdas, kritis, dan tak takut bersuara.
Pada tahun 1912, saat usianya 28 tahun, ia mendirikan Soenting Melajoe, surat kabar yang khusus ditujukan untuk perempuan.
Ini bukan hanya media biasa, melainkan wadah yang mengajarkan kaum perempuan melek huruf, mengenal pengetahuan modern, dan berani mengutarakan pendapat.
Bayangkan dampaknya pada masa itu: ketika banyak perempuan bahkan belum bisa membaca, Rohana menulis artikel yang mendorong perempuan berpendidikan dan berorganisasi.
“Soenting Melajoe” bisa dibilang menjadi tonggak awal literasi perempuan di Hindia Belanda.
Menariknya, jika nama Kartini banyak dikenal berkat surat-suratnya, Rohana sudah selangkah lebih maju karena mendirikan media pers sendiri — sebuah langkah revolusioner.
Menariknya, jika nama Kartini banyak dikenal berkat surat-suratnya, Rohana sudah selangkah lebih maju karena mendirikan media pers sendiri — sebuah langkah revolusioner.
Namun ironisnya, namanya jarang disebut di buku-buku sejarah sekolah. Padahal pada 2019, pemerintah akhirnya menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.
Selain menulis, Rohana juga mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia yang mengajarkan keterampilan menjahit, menyulam, hingga membaca dan berhitung bagi perempuan. Ia percaya, perempuan yang berpendidikan akan melahirkan generasi yang kuat.
Rohana Kudus wafat pada tahun 1972 di Jakarta. Namun warisannya masih terasa hingga kini: semangat perempuan yang berani bersuara, berpendidikan, dan ikut membangun negeri.
Hari ini, ketika kita membaca berita dari layar ponsel, kita patut mengingat bahwa jalan panjang kebebasan pers dan suara perempuan pernah dirintis oleh sosok seperti Rohana Kudus.
Ia adalah bukti bahwa perempuan Minangkabau sejak dulu berada di garis depan perjuangan literasi dan kesetaraan.(*)